Salah satu adegan “Lali Titene” yang dipentaskan Teater Kaplink Udinus di TBRS, Senin (8/2). |
SEBUAH potret kehidupan keluarga Jawa dipentaskan cukup apik oleh Teater Kaplink Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), Senin (8/2). Dengan sentuhan sangat realis, pentas “Lali Titene” di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang itu betul-betul mampu menghibur ratusan penonton.
Pemenstasan naskah yang disebut-sebut sebagai karya bersama dari serangkaian observasi tersebut menceritakan kehidupan sebuah keluarga berlatar belakang budaya Jawa di tengah abad millennium. Kepercayaan yang kuat terhadap tradisi jawa sebagaimana digambarkan oleh sosok ayah bernama Suryo dihadapkan pada pemikiran dan budaya modern anaknya, Riko.
Sebagai seorang sarjana Riko menolak semua pemikiran dan budaya Jawa yang dipegang teguh bapaknya, sehingga menimbulkan pergesekan antar keduanya. Pergesakan menjadi tidak lagi terelakkan, ketika sang ayah mencium kisah cinta Riko dengan Siswa. Suryo tidak setuju kisah asmara anaknya terus berlanjut dengan gadis yang menurutnya tidak jelas bobot, bibit, dan bobotnya, serta berdasarkan perhitungan weton (hari lahir) keduanya tidak cocok itu. Namun alasan Suryo tersebut tidak disampaikan secara gamblang kepada Riko. Suryo hanya memksa anak semata wayangnya menikah dengan Nita, murid tarinya.
Atas dasar cinta, Riko menolak keinginan ayahnya itu dan memilih menghamili Siska. Kehamilan itu akhirnya memaksa Suryo menyetujui perkawinan keduanya. Sambil menjelaskan alasan penolakannya terhadap kisah asmara anaknya itu, Suryo meminta Riko meninggalkan rumah untuk menolak kesialan akibat perhitungan weton tidak berjodoh itu.
“Ini adalah potret realitas yang banyak bisa dijumpai di sekelililing kita. Ada orang Jawa lupa dengan tradisinya. Adapula orang jawa tahu tradisi dan berharap tradisi itu terus langgeng tapi cara menerapkannya terkesan memaksa, tanpa ada penjelasan agar bisa dipahami,” ucap Kresna Brilliandika Angkasa selaku sutradara.
Mahasiswa semester 3 tersebut mengatakan, pesan pementasan ini ingin menyampaikan bahwa meski ilmu pengetahuan pesat dan jaman telah berkembang pesat tradisi dan budaya tradisi dan budaya tetap harus dilestarikan. “Istilahnya orang Jawa yang jangan lupa Jawanya.Jangan jadi manusia keblinger,” jelasnya.
Pentas yang digawangi delapan orang pemain di antaranya Imam Machfudz, Mega Zuandara, Ardiana DP, Agrilinda Nindiyusi, Riski Wisnu Adi Brata, Mucklas Setiadi, Mumahmad Hekmatiar, dan Mohamad Rindony tersebut harus diakui mampu membuat para penonton terharu dan memberikan applus yang positif .
Segi keaktoran sebagian besar pemain terlihat cukup matang. Begitu pula penataan seeting, gambaran ruangan tamu yang dihadirkan sangat realis dalam pementasan berdurasi 1,5 jam tersebut juga nyambung dengan konsep permainan, meskipun memang dengan banyaknya properti seperti hiasan-hiasan dinding membuat fokus pandangan penonton sedikit terganggu. (sokhibun ni’am/nji)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.