SEMARANG- Filsafat hukum seringkali dianggap sebagai salah satu materi yang ''berat'' karena banyak berkaitan dengan pemikiran-pemikiran filsafati dan mendasar tentang hukum. Namun dari optik filsafat hukum inilah dinamika hukum bisa diteorikan ke dalam sistem.
''Untuk dapat menciptakan kenyataan yang lebih baik, selalu diperlukan proses bolak-balik antara realita dengan teori,'' ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam Konferensi Nasional ke-2 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) bertema "Filsafat Hukum dan Kemajemukan Masyarakat Indonesia" di Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Senin (16/7).
Dalam kesempatan itu, Mahfud menyoroti soal jaminan dan perlindungan terhadap kemajemukan bangsa dari sudut pandang konstitusi dan MK. Di era otonomi, banyak bermunculan raja-raja kecil sehingga memunculkan sentimen kedaerahan. Menurutnya, urusan konsep pluralisme sudah selesai. Namun belakangan ini, konflik-konflik yang dilatari oleh rendahnya toleransi terhadap perbedaan lebih sering terjadi.
Menurutnya, UUD 1945 sebagai konstitusi negara, tidak saja merupakan konstitusi politik melainkan juga konstitusi sosial dan ekonomi. Atas dasar ketentuan-ketentuan di dalam UUD 1945 itu, seluruh warga negara dengan beragam identitas kultural, suku, jenis, kelamin dan agama mendapatkan jaminan dan perlindungan negara. Hal ini berarti juga bahwa negara tidak boleh sedikitpun mendiskriminasi warganya dengan dalih dan alasan apapun.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia B Arief Sidharta mengatakan, melalui konferensi ini diharapkan semangat kebersamaan di antara para pemikir hukum terkemuka di Tanah Air dalam mendiskursuskan topik-topik hukum yang fenomenal, namun dilakukan dengan kaca mata dan pisau analisis yang fundamental dan reflektif kritis.
''Forum-forum seperti ini terbilang mulai langka di dalam komunitas ilmiah di Indonesia,'' katanya.
Anggota AFHI Dr Shidarta MHum menambahkan, putusan hukum dengan pendekatan positivisme tidak selalu tepat. Hukum selalu merupakan hukum positif dan positivisme hukum terletak pada fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan manusia terlepas dari moralitas dan sistem norma itu sendiri. Kepastian hukum merupakan keniscayaan bagi kaum legal-formalistik.
Bahwa yang namanya hukum harus tertulis dan (tanpa pandang bulu) ditegakkan sesuai aturan yang berlaku. Namun, setelah aturan hukum tertulis tersebut diterapkan kepada setiap tindakan manusia apakah keadilan yang akan tercipta? Dia mengatakan, perspektif hukum semestinya juga dilihat dengan pendekatan filosofi agar hukum tidak hanya tajam ke bawah tapi juga ke atas. (J9/jbsm/14)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.