Sayoto memang gandrung kesenian Jawa. Ia rela merogoh kocek pribadi untuk membiayai ekstrakurikuler ketoprak.
AKHIR-akhir ini, tindakan yang melanggar tata krama, bahkan di luar susila cenderung kian lumrah dilakukan. Perkelahian pelajar, minum-minuman keras, pencabulan, pencurian, pembunuhan, penculikan, perampokan, misalnya, kerap menghiasi surat kabar dan televisi. Kondisi tersebut, menurut Kepala Sekolah SDN Bojong Salaman 03, Sayoto Eka Saputra, merupakan cermin lunturnya nilai-nilai luhur bangsa.
Melihat hal itu, kepala sekolah yang merangkap guru bahasa Jawa itu pun mengaku prihatin. Lebih-lebih ketika mengetahui pelaku asusila remaja dan anak-anak di bawah umur. “Jika tidak ada yang peduli untuk mengatasi, entah apa jadinya bangsa ini nanti,” ungkap pria yang sudah 36 tahun mengabdi sebagai guru itu, kemarin (24/11).
Maka ketika ada terobosan baru yang dilakukan Pemprov Jateng dengan menetapkan bahasa Jawa sebagai muatan lokal wajib di tingkat SD dan SLTP, pria yang delapan bulan lagi memasuki masa pensiun tersebut menanggapinya dengan gembira.
Rasa lega ia rasakan, karena menurutnya penerapan bahasa Jawa sebagai mata pelajaran di sekolah banyak memberikan kontribusi pembinaan moral dan tata krama siswa.
“Bahasa Jawa bukan sekadar alat komunikasi. Namun lebih dari itu, merupakan bahasa adiluhung yang penuh ajaran budi pekerti. Hanya bahasa Jawa yang punya ragam bahasa yang jelas antara krama inggil dan krama ngoko. Antara keduanya mengandung pendidikan sopan santun dan budi pekerti yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” jelas salah satu paranporo (penasihat) Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani) itu.
Agar bahasa Jawa bisa benarbenar dikuasai anak didiknya, pria berperawakan santun itu menuntut semua guru menguasai bahasa Jawa.
Sebagai kepala sekolah, ia juga membuat kebijakan “satu hari berbahasa Jawa” yang wajib dilakukan semua komponen SDN Bojong Salaman 03. Program dijalakan saban Sabtu, bertujuan
agar siswa lebih terbiasa dengan bahasa ibunya.
Masih merasa kurang dengan semua itu, penggemar burung perkutut itu pun mengembangkan kesenian Jawa kepada anak didiknya melalui kegiatan ekstrakurikuler .
Dia terjun langsung menjadi pelatihnya, mengajari siswa kelas IV dan kelas V bermain ketoprak. Bahkan, karena kuatnya keinginan menanamkan dan membina tata krama kepada anak didik, ia rela mengeluarkan uang pribadinya untuk kebutuhan operasional ektrakurikuler ketoprak tersebut.
Tiga Pilar Penting
Penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu di tengah masyarakat dirasanya kian luntur. Karenanya, tiga pilar utama pendidikan ia harapkan berjalan terpadu dan kompak dalam pembelajaran bahasa Jawa kepada anak sejak usia dini.
Penanaman nilai budi pekerti luhur itu sendiri harus berjalan terpadu dan dimulai sejak anak usia dini. Pemerintah, dalam hal ini diwakili sekolah sebagai penyelenggara pendidikan merupakan lembaga paling efektif untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur.
Selain sekolah, keluarga juga mempunyai peran penting dalam menanamkan budi pekerti luhur. Sejak kecil seharusnya anak dibiasakan dengan prilaku-prilaku yang mencerminkan budi pekerti
luhur dalam keluarga.
Tidak hanya itu, setiap tindakan dan perkataan seharusnya selalu dalam monitor orang tuanya sampai orangtua betul-betul mantap bahwa anaknya sulit terpengaruh hal negatif.
Meski dalam lingkungan keluarga sudah dilakukan pendidikan/ pembiasaan berbudi pekerti luhur, belum tentu anak dapat melewati pergaulan tanpa pengaruh negatif. Lingkungan pergaulan punya pengaruh yang sangat kuat bagi anak-anak.
Sehingga, anak yang mendapat pendidikan budi pekerti dengan baik sekali pun dapat dengan mudah terbawa ke dalam perilaku yang dur, angkara, murka, atau nista.
“Melihat pentingnya peranan tiga pilar itu, maka ketiganya harus kompak sejalan, agar bangsa ini kembali mempunyai martabat karena tata krama yang dimiliki masyarakatnya,” tandasnya. (sna/nji)
AKHIR-akhir ini, tindakan yang melanggar tata krama, bahkan di luar susila cenderung kian lumrah dilakukan. Perkelahian pelajar, minum-minuman keras, pencabulan, pencurian, pembunuhan, penculikan, perampokan, misalnya, kerap menghiasi surat kabar dan televisi. Kondisi tersebut, menurut Kepala Sekolah SDN Bojong Salaman 03, Sayoto Eka Saputra, merupakan cermin lunturnya nilai-nilai luhur bangsa.
Melihat hal itu, kepala sekolah yang merangkap guru bahasa Jawa itu pun mengaku prihatin. Lebih-lebih ketika mengetahui pelaku asusila remaja dan anak-anak di bawah umur. “Jika tidak ada yang peduli untuk mengatasi, entah apa jadinya bangsa ini nanti,” ungkap pria yang sudah 36 tahun mengabdi sebagai guru itu, kemarin (24/11).
Maka ketika ada terobosan baru yang dilakukan Pemprov Jateng dengan menetapkan bahasa Jawa sebagai muatan lokal wajib di tingkat SD dan SLTP, pria yang delapan bulan lagi memasuki masa pensiun tersebut menanggapinya dengan gembira.
Rasa lega ia rasakan, karena menurutnya penerapan bahasa Jawa sebagai mata pelajaran di sekolah banyak memberikan kontribusi pembinaan moral dan tata krama siswa.
“Bahasa Jawa bukan sekadar alat komunikasi. Namun lebih dari itu, merupakan bahasa adiluhung yang penuh ajaran budi pekerti. Hanya bahasa Jawa yang punya ragam bahasa yang jelas antara krama inggil dan krama ngoko. Antara keduanya mengandung pendidikan sopan santun dan budi pekerti yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” jelas salah satu paranporo (penasihat) Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani) itu.
Agar bahasa Jawa bisa benarbenar dikuasai anak didiknya, pria berperawakan santun itu menuntut semua guru menguasai bahasa Jawa.
Sebagai kepala sekolah, ia juga membuat kebijakan “satu hari berbahasa Jawa” yang wajib dilakukan semua komponen SDN Bojong Salaman 03. Program dijalakan saban Sabtu, bertujuan
agar siswa lebih terbiasa dengan bahasa ibunya.
Masih merasa kurang dengan semua itu, penggemar burung perkutut itu pun mengembangkan kesenian Jawa kepada anak didiknya melalui kegiatan ekstrakurikuler .
Dia terjun langsung menjadi pelatihnya, mengajari siswa kelas IV dan kelas V bermain ketoprak. Bahkan, karena kuatnya keinginan menanamkan dan membina tata krama kepada anak didik, ia rela mengeluarkan uang pribadinya untuk kebutuhan operasional ektrakurikuler ketoprak tersebut.
Tiga Pilar Penting
Penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu di tengah masyarakat dirasanya kian luntur. Karenanya, tiga pilar utama pendidikan ia harapkan berjalan terpadu dan kompak dalam pembelajaran bahasa Jawa kepada anak sejak usia dini.
Penanaman nilai budi pekerti luhur itu sendiri harus berjalan terpadu dan dimulai sejak anak usia dini. Pemerintah, dalam hal ini diwakili sekolah sebagai penyelenggara pendidikan merupakan lembaga paling efektif untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur.
Selain sekolah, keluarga juga mempunyai peran penting dalam menanamkan budi pekerti luhur. Sejak kecil seharusnya anak dibiasakan dengan prilaku-prilaku yang mencerminkan budi pekerti
luhur dalam keluarga.
Tidak hanya itu, setiap tindakan dan perkataan seharusnya selalu dalam monitor orang tuanya sampai orangtua betul-betul mantap bahwa anaknya sulit terpengaruh hal negatif.
Meski dalam lingkungan keluarga sudah dilakukan pendidikan/ pembiasaan berbudi pekerti luhur, belum tentu anak dapat melewati pergaulan tanpa pengaruh negatif. Lingkungan pergaulan punya pengaruh yang sangat kuat bagi anak-anak.
Sehingga, anak yang mendapat pendidikan budi pekerti dengan baik sekali pun dapat dengan mudah terbawa ke dalam perilaku yang dur, angkara, murka, atau nista.
“Melihat pentingnya peranan tiga pilar itu, maka ketiganya harus kompak sejalan, agar bangsa ini kembali mempunyai martabat karena tata krama yang dimiliki masyarakatnya,” tandasnya. (sna/nji)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.