Home » , , » Ketika Ibu Guru Bercelana Panjang...

Ketika Ibu Guru Bercelana Panjang...

Written By tonitok on Kamis, 03 November 2011 | 06.45

Seorang guru TK Harapan Bunda Semarang tengah mengajar
MENGENAKAN rok, mungkin lebih ribet dibanding celana panjang. Mungkin karena itu, banyak guru TK (perempuan) yang memilih mengenakan celana panjang, alih-alih dibanding rok. Salahkah? Tentu tidak.
Menurut Dian Savitri, psikolog dari Universitas Semarang (USM), busana merupakan bagian dari identias gender. ”Di Indonesia, pada batas tertentu, busana merupakan bagian identitas gender. Misalnya rok untuk wanita dan celana panjang untuk wanita,” jelasnya.
Namun dia tak mau’menghakimi’ bahwa itu keliru.

Pasalnya, menurut dia, sejatinya identitas gender tak memiliki batas demarkasi yang jelas. Namun berkembang sesuai zaman.”Dulu, anak perempuan yang suka manjat pohon dianggap tomboy. Sekarang, tak masalah,” jelasnya.

Dian mengatakan, penyikapan terhadap peran gender berbeda pada setiap budaya. “Ini  tergantung kearifan lokal,” ujarnya.

Menurut dia kontruksi gender bersifat fleksibel. Karenanya, masyarakat perlu memahami perbedaan jenis kelamin dan gender. Meski sepintas mirip, kedua terminologi ini berbeda. ”Jenis kelamin merupakan terminologi biologi, yang juga membawa karasteristik psikologis,” ujarnya.

Maksudnya? Biasanya pria membawa sifat maskulin, baik fisik (menyangkut struktur biologis dari otot) maupun alat reproduksi yang secara fisik jelas berbeda dengan perempuan. Adapun secara psikologis, kecenderungannya pria lebih rasional dan wanita emosional.

”Namun jika berbicara gender, berarti kita mengkaji status yang menempel pada jenis kelamin. Misalnya persepsi bahwa wanita itu emosional,” jelasnya.

Perihal pantas tidaknya guru TK mengenakan celana panjang, Dian Savitri mengatakan saat ini celana panjang tak bisa diidentikkan sebagai busana pria. Jadi boleh-boleh saja.

Meski demikian, Savitri anak-anak usia TK dan SD masih perlu dikenalkan identitas jenis kelaminnya yang tidak sekadar biologis. Mereka masih perlu dikenalkan konstruksi budaya, bahwa laki-laki tidak mengenakan rok dan perempuan identitasnya adalah rok. ”Jadi di sini ada pengenalan identitas gender. Pada tingkat TK dan SD, menurut saya, masih perlu,” jelasnya.

Hal senada diungkapkan Izzun Nahdloh, mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Unnes yang juga aktivias mentoring. Menurutnya, pengenalan identitas gender di kalangan TK dan SD awal masih perlu. ”Perlu karena anak-anak masih belajar tentang itu,” jelasnya.

Menurut dia, batasan yang lentur membuatnya tak mudah diajarkan kepada anak. Karenanya, jangan sampai konstruksi tersebut mengaburkan identitas kelamin. Jika itu terjadi, bisa jadi muncul efek sampingan, yakni adanya ”trans” terhadap peran gender. Atau setidaknya, membuat anak melakukan kebiasaan yang menyimpang secara mencolok dari kultur di masyarakat.

Anak laki-laki boleh saja melihat kakak perempuannya memakai lipstik. Namun jika kemudian si anak ikut-ikutan ber-lipstik, itu bisa menjadi masalah.

Masalahnya, di Indonesia justru terbalik-balik. ”Mestinya, guru TK mengenakan rok untuk mengenalkan identitas gender pada anak-anak. Adapun guru SMA, malah boleh mengenakan celana panjang karena siswanya sudah dewasa dan sudah memahami perbedaan gender. Tapi yang terjadi sebaliknya,” jelasnya. Bagaimana menurut Anda? (panji joko satrio)
Share this article :

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HARIAN SEMARANG - Education - All Rights Reserved
Template Created by Mas Fatoni Published by Tonitok
Proudly powered by Blogger