Home » , » Penyaluran Beasiswa: Sebuah Realita

Penyaluran Beasiswa: Sebuah Realita

Written By Harian Semarang on Selasa, 01 November 2011 | 08.01

Sasaran Beasiswa Kurang Akurat

Tahun ini, banyak beasiswa yang telah dikeluarkan oleh pemerintah yang diperuntuksn kepada mahasiswa di Perguruan Tinggi yang berprestasi. Akan tetapi dalam realisasinya sasaran yang dituju terkadang dirasa kurang akurat. Dimana masih banyak para mahasiswa yang memperoleh beasiswa adalah mahasiswa yang secara ekonomi sudah mapan. Di sekeliling kampus para mahasiswa yang secara ekonomi kurang mampu lebih membutuhkan akan hal ini. Mereka memiliki kemampuan yang lebih serta ingin melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya. Akan tetapi mereka terkendala dengan biaya.
            
Sungguh ironis mahasiswa ekonominya lemah akhirnya terakienasi dalam dunia pendidikan. Padahal mereka juga mempunyai kemampuan yang lebih dan hak yang sama dengan mahasiswa “elit” untuk bersaing dan memperoleh beasiswa dari pemerintah.
            
Yang menjadi permasalahannya sekarang, bagaimana peran Birokrasi kampus serta ketua-ketua lembaga untuk lebih cermat memilih calaon penerima beasiswa. Sehingga ke depannya par kalangan mahasiswa bawah juga dapat merasakan perkuliahan dan ikut serta bersaing dalam dunia pendidikan.
            
Inilah saatnya Birokrasi kampus bertindak adil dalm merealisasikan beasiswa. Agar timbul masalah kesenjangan sosial. Sehingga jika program beasiswa itu sudah terealisasi dengan baik, semua mahasiswa akan bisa hidup bersama dalam menempuh perguruan tinggi. Sangatlah mulia lagi jika Perguruan tinggi dapat merealisasikan program ini secara tepat. (Alif Adibatul Latifah, Mahasiswa :IAIN Walisongo Fakultas Syari'ah, Jurusan Muamalah)

Ribet dan Kurang Mengena

Berbicara mengenai penyaluran beasiswa sejauh ini terkesan hanya bermodal “dana” yang dipersiapkan tanpa melibatkan “proses”, dalam artian pemerintah penyedia beasiswa hanya menyediakan anggaran beasiswa yang terbilang cukup besar tapi terkadang kurang mendapatkan perhatian dalam proses penyaluran beasiswa yang tepat guna dan tepat sasaran. Selain itu, persyaratan administrasi formal terkadang masih terlalu memberatkan bagi kalangan yang benar-benar kurang mampu, bahkan walaupun beasiswa itu masih baru sebatas spekulasi, usaha untuk mendapatkan dan belum benar-benar pasti mendapatkan karena masih harus bersaing dengan calon penerima beasiswa lain tapi sudah harus mengeluarkan dana yang tak bisa dibilang sedikit untuk kalangan bawah.

Dalam berbagai media juga sering dikabarkan masih banyak kalangan tidak mampu yang belum tersentuh beasiswa bahkan sampai harus nunggak SPP dan dikeluarkan dari pihak institusi atau sekolah, hal ini membuktikan bahwa pemerintah terkesan apa adanya dalam penyaluran dana beasiswa, yang penting tersalurkan tanpa memperdulikan apakah penyaluran beasiswa selain sudah memenuhi prosedur juga sudah menyentuh seluruh kalangan masyarakat tanpa terkecuali, meski hanya sebatas pengetahuan dan informasi bahwa ada beasiswa.

Sehingga, besarnya dana beasiswa yang disediakan layaknya diimbangi dengan perencanaan untuk mencetak generasi unggulan dari kalangan calon penerima beasiswa yang kurang mampu dengan program terencana, terkelola profesional, dan termonitor dengan ketat dan cermat. Dengan begitu, program beasiswa tidak terkesan membuang-buang uang, tapi juga diperhatikan efesiensi dan urgensinya agar lebih mengena, tepat sasaran dan tepat guna. (Aji Ainul Faqih, Redaktur Zenith, Mahasiswa Prodi Konsentrasi Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang)

Si Kaya Makin jaya, sang Miskin kian Menderita

Saya sering mendengar, model pendistribusian Beasiswa pemerintah, sejenis Bidik Misi, unggulan dsb masih belum mengena dan tepat sasaran. Yang katanya, sasaran utamanya adalah masyarakat miskin yang berprestasi.

Sebenarnya, siapa yang berhak mendapat beasiswa tersebut?  Masyarakat miskin yang memang berprestasi kah atau orang kaya yang berkecukupan yang juga berprestasi? karena hingga  saat ini,  banyak penikmat beasiswa tersebut yang berasal dari kalangan ekonomi cukup dan menengah yang juga punya prestasi, Atau memang belum ada standarisasi miskin dari pemerintah, miskin seperti apa yang berhak mendapatkan beasiswa?

Si Kaya makin jaya, sang Miskin kian Menderita, ungkapan ini yang kiranya mengilustrasikan realitanya. Jika harus bersaing, umumnya yang kaya lah yang akan unggul daripada yang miskin. Betapa tidak, selepas belajar di kelas, tidak sedikit dari mereka yang juga ikut les privat tambahan lainya yang menunjang prestasi akademiknya, sungguh berbeda dengan mereka yang miskin lantaran terbentur dengan ekonomi dan biaya.

Namun, jikalau beasiswa tersebut benar-benar difokuskan untuk masyarakat miskin, maka kunci utamanya adalah masyarakat miskin sekalipun dengan prestasi akademik yang tidak seberapa. Penulis meyakini, prestasi akademik tidak bisa dijadikan syarat dalam rekruitmen penerima beasiswa tersebut, yang dibutuhkan adalah niat dan kesungguhan.  Ada pesan moral yang bisa diangkat “betapa seseorang yang miskin pun berhak mendapat kesetaraan pendidikan tanpa pandang bulu seberapa baik dan buruk prestasi akademiknya di masa lalu, andaikata ada niat dan kesempatan dari pemerintah bukan mustahil  mereka bisa melakukan inovasi yang lebih baik dalam hidupnya termasuk dalam hal peningkatan mutu dan kualitas akademiknya.  Pembenahan dalam pendistribusian beasiswa mulai dari pusat hingga kampus ini yang harus mulai dibenahi saat ini. (Sa’adatul Inayah, Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, Redaktur Pelaksana Bulletin Magesty CSS MoRA)

Realita Beasiswa dalam Kapitalisme Pendidikan

Dunia perguruan tinggi kini tampil dengan penuh angkuh dan hidup dari kebohongan, dibangun di atas puing-puing keserakahan. Semangat kapitalisme terus menggejala untuk mengeruk banyak uang tanpa memperhatikan unsur substansi pendidikan.

Ketidakpuasan masyarakat terhadap situasi pendidikan yang mengalami kerancuan, sudah cukup menjadi pelajaran berharga bagi dunia pendidikan. Rakyat yang begitu membutuhkan dunia pendidikan, terpaksa terkatung-katung dalam jebakan kapitalisme pendidikan. Jangankan mengakses pendidikan berkualitas, sekadar masuk ke sekolah reguler dengan standar minimal, rakyat harus berjuang dengan cucuran keringat.
Karena itu, beasiswa menjadi incaran utama bagi kaum tak mampu. Ironisnya, beasiswa didunia perguruan tinggi selalu menghampiri  yang kuat dan yang kaya. Ada indikasi kongkalikong dalam penyaluran beasiswa. Jika bangsa ini masih menginginkan tujuan pendidikan tercapai, maka permasalahan struktural dalam lembaga pendidikan mesti segera diselesaikan.

Problem sosial dan ekonomi kemasyarakatan adalah hal yang tidak bisa ditunda serta mendapat perhatian awal dalam pengelolaan pendidikan berbasis masyarakat. Para pengelola pendidikan yang telah mendapatkan mandat untuk menyalurkan beasiswa dari pemerintah, harus benar-benar berjiwa nonkarierisme dan nonprofiturisme. Birokrasi perguruan tinggi harus terdorong melahirkan semangat baru dan visi baru dalam menyelenggarakan sistem pendidikan yang lebih demokratis dan desentralistis dalam pengelolaannya.

Pendidikan yang baik dan berkualitas memang perlu biaya. Akan tetapi, haruskah biaya itu dibebankan kepada warga negara yang jelas-jelas tak mampu menanggungnya? Pada konteks ini, beasiswa lahir dalam rangka mewujdukan mimpi dari semangat juang kaum ekonomi lemah. Namun, apa dikata, jika beasiswa telah raib dimakan dalam permainan tikus-tikus berdasi? Ah, sungguh terlalu! (Wildani Hefni, mahasiswa dan peneliti muda Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang)

TAK PERLU ADA ‘KAMBING HITAM’

Bak jamur yang tumbuh di musim hujan, mungkin merupakan istilah yang sesuai untuk mendeskripsikan banyaknya program beasiswa yang dicanangkan di perguruan tinggi. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah program beasiswa yang diberikan oleh perguruan tinggi tidak lagi berdasar pada tingkat ekonomi mahasiswa, meskipun salah satu syarat yang biasa dijumpai adalah menyertakan keterangan penghasilan orang tua, namun penyerahan bantuan pendidikan ini lebih dominan pada prestasi yang diraih mahasiswa. Sehingga, seharusnya tidak ada lagi ihwal penyaluran beasiswa yang tidak tepat sasaran, akan tetapi bagaimana para mahasiswa dapat bersaing secara sehat untuk didaulat menjadi mahasiswa penerima dana bantuan tersebut.

Faktor keberuntungan biasanya menjadi ‘kambing hitam’ yang didengungkan terkait syarat struktural beasiswa yang telah ditentukan oleh pihak pemberi. Persyaratan lengkap dan kuota masih mencukupi, tentu jadi landasan utama dikabulkannya permintaan, selain kelengkapan syarat administrasi. Beberapa anggapan mengemukakan bahwa faktor X yang jadi penghalang terpenuhinya persyaratan bagi mahasiswa kalangan bawah adalah administrasi yang dinilai terlalu tinggi. Sehingga, muncul kesimpulan bahwa penyaluran beasiswa tidak tepat sasaran.

Sejatinya, beasiswa dan mahasiswa merupakan kesatuan simbiosis mutualisme, saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain, sehingga wajar jika dalam proses memperolehnya terdapat pengorbanan yang diberikan. Laik pepatah “where there is a will, there is a way”. Tidak ada yang mustahil selama mau berusaha. Ekonomi tak seharusnya jadi kambing hitam, tinggal bagaimana keinginan dan semangat para mahasiswa untuk berprestasi dan memperoleh dana bantuan yang ditawarkan. (Rizki Mukaromah, Mahasiswi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang,  Redaktur majalah Zenith )

Tidak Jelas Prosedur

Keistemewaan beasiswa memang menjadi hal yang dinanti oleh semua mahasiswa, beasiswa digambarkan sebagai penyokong guna menunjang biaya perkuliahan, mengingat dana pendidikan Perguruan Tinggi (PT) dari tahun ke tahun terus meningkat alias tidak murah. Hal tersebut membawa kepada para mahasiswa khususnya dari kalangan tidak mampu sering mencari-cari beasiswa supaya bisa membayar dana kuliah yang mahal.

Namun ironisnya  pemberian beasiswa yang diberikan PT untuk mahasiswa sering kali menggambarkan ketidakjelasan prosedur penyeleksian dan kreteria calon penerima. PT seakan memberikan beasiswa bagi siapa saja tanpa melihat status dari mahasiwa tersebut, dan itu menjadikan sistem yang tidak tepat dan tidak pas sasaran.

Seperti yang kita lihat sekarang bahwa prosedur yang dilakukan banyak mengandung unsur asal-asalan seperti orang yang kaya tapi tidak mempunyai prestasi bisa mendapat beasiswa, namun bagi mahasiswa tidak mampu tapi mempunyai prestasi malah tidak dapat padahal dia sangat membutuhkan. Sistem tersebut akan berdampak pada “kecemburuan sosial” mahasiswa kalau seandainya sistem asal-asalan sering dipakai oleh PT.        

 Dan Seyogjanya pihak PT bisa mengambil sikap tegas dan harus objektif dalam memberikan beasiswa dikalangan mahasiswa. Salah satu satu cara supaya PT bisa memilih dan memilah dalam membedakan mana mahasiswa yang asal-asalan dan mana mahasiswa yang betul-betul harus diberi beasiswa tersebut. 
(Nanang Qosim, Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang)



Share this article :

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HARIAN SEMARANG - Education - All Rights Reserved
Template Created by Mas Fatoni Published by Tonitok
Proudly powered by Blogger