KEINGINAN untuk segera mengantongi status Sekolah Standar Nasional (SSN) terpaksa harus dipendam dulu. Hal itu karena pembangunan beberapa ruang untuk memenuhi standar SSN masih terkendala penyelesaiannya. Itulah yang dialami SDN Wonotingal 01-04.
Kepala sekolah SDN Wonotingal 02-03, Saryoto mengatakan, hingga kini sekolah yang terletak di Kecamatan
Candisari tersebut masih berharap bantuan dari pemerintah untuk segera menyelesaikan pembangunan. “Kami sudah meminta bantuan sejak 2008. Harapannya bisa turun Rp 170 juta namun hanya diturunkan Rp 120 juta,” jelasnya saat ditemui Harsem, Sabtu (20/11).
Dikatakan, ruangan yang belum ada antara lain laboratorium komputer, bahasa, IPA dan matematika. “Kami
masih kekurangan sekitar empat ruang. Belum lagi, sebagian gedung kelas atapnya sudah rusak,” paparnya.
Dia juga mengatakan, bantuan Rp 120 juta tak ada kelanjutannya. “Harapan kami ada kelanjutan Rp 50 juta, tapi tak ada. Bahkan pada 2009 dan 2010 kami tidak mendapatkan bantuan sama sekali,” imbuhnya.
Sementara, uang Rp 120 juta yang diperoleh 2008 telah digunakan untuk membiayai bimbingan teknologi (bintek) yang dilakukan guru serta menambah koleksi buku perpustakaan dan alat peraga. “Kami sudah menanyakan hal tersebut langsung kepada Dinas Pendidikan Kota namun hingga saat belum mendapat penjelasan,” lanjutnya.
Diakui Saryoto, sekolah sering kekurangan dana untuk operasional mengikuti perlombaan. Sehingga sekolah terpaksa meminjam dana dari koperasi. “Terutama untuk kebutuhan transpor guru pendamping lomba, antara lain pada Popda serta Kelompok Kerja Guru (KKG ),” terangnya.
Hingga saat ini pihaknya kerap bingung harus mencari dana. “Karena kalau mengandalkan orangtua tidak mungkin, sekolah dilarang menarik dana dari orangtua,” jelasnya.
Bahkan dia bercerita, pada 2008 lalu sekolah memperbaiki atap bangunan untuk dua kelas. Saat itu sekolah masih diperbolehkan menarik iuran dari orangtua.
Namun di tengah jalan saat pembangunan masih dalam proses, muncul kebijakan pemerintah untuk menghentikan semua iuran orangtua siswa termasuk BP3.
“Akhirnya untuk menutup biaya perbaikan atap saya menggunakan uang pribadi sebanyak Rp 30 juta. Saat itu atap yang rusak sekitar empat kelas,” urainya.
Meski begitu, Saryoto tak pernah menyesal meski uang tersebut tidak kembali. “Saya justru bangga telah melakukan sesuatu untuk sekolah.
Selain itu saya yakin jika saya melakukan hal yang baik untuk sekolah, suatu saat ketika membutuhkan bantuan dari orang lain, saya pasti juga akan mendapatkannya,” pungkasnya. (awi/nji)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.