Campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan telah lama menjadi persoalan. Manuver politik penguasa yang kerap ditumpangkan pendidikan merupakan bukti hegemoni rezim.
Pantas jika pendidikan nasional kita, sejak kemerdekaan sampai reformasi, mengalami ketidakjelasan konsep. Karena pemegang kebijakan adalah birokrasi dan DPR yang merupakan kepanjangan tangan partai politk.
Kebijakan pendidikan “ketok palu” DPR merupakan perwujudan kepentingan partai penguasa. Akan dikemanakan arah pendidikan jika kita tergantung partai pemenang pemilu.
Akhirnya kita harus menyesal, jika produk pendidikan kita merupakan hegemoni penguasa. Gramsci menyatakan, hegemoni merupakan penggabungan kekuasaan yang melahirkan kesepakatan di antara warga negara melalui proses pendisiplinan diri. Masyarakat akan menyesuaikan dengan norma yang dibuat negara.
Rakyat didisiplinkan sedemikian rupa agar mengikuti kehendak penguasa. Gramsci berpendapat
peranan intelektual sangat penting dalam pertarungan hegemoni. Para intelektualah yang mempunyai kekuatan untuk melakukan kontrol kebijakan negara. Sedangkan intelektual sendiri terbagi dua kubu, yakni intelektual tradisional dan organik.
Intelektual oraganik juga terbagi dua yaitu yang pro hegemoni serta yang kontra. Tugas utama intelektual hegemonic adalah memastikan kapitalisme dapat diterima semua kelas. Kapitalisme adalah harga mati.
Sedang intelektual kontra bertugas membuat gerakan tersendiri, mengumpulkan kaum proletar dalam sebuah kelas sosial tersendiri agar tak tersentuh pandangan hegemonik pro kapitalis. Hegemoni menurut Gramsci adalah kondisi sosial dari seluruh aspek masyarakat yang disokong serta didominasi kelas tertentu. Pemerintah/ negara menancapkan hegemoninya dengan proses pendisiplian melalui lembaga sosial dan pendidikan (educational relationship).
Dari sini tampak lembaga pendidikan tidak akan bersikap netral karena dalam kungkungan penguasa. Civil society yang dibangun penguasa adalah tipe masyarakat madani yang semu karena mengekang kebebasan masyarakat untuk maju melalui pendidikan.
Pendidikan dan kebudayaan adalah alat perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan. Pandangan Gramsci telah membukakan mata kita lebar-lebar bahwa penguasa akan selalu melakukan manuver untuk menancapkan kekuasaan sampai ke akar-akar masyarakat melalui lembaga pendidikan.
Melalui jalur pemerintahan, penguasa mendikte kebijakan secara top down. Sedangkan melalui lembaga pendidikan, hegemoni pada tingkat akar rumput.
Solusi memecahkan masalah ruwet ini adalah seperti dikemukakan John Dewey. Jika tujuan pendidikan adalah manusia yang bebas dari segala kungkungan apa pun dan siapa pun, maka perlu dibentuk badan independen yang khusus menangani pendidikan.
Badan ini diisi peneliti dan pakar yang khusus mengkaji, meneliti, serta memberikan arahan pendidikan nasional. Sehingga hasil lembaga independen ini adalah sebuah keputusan yang “bebas” dari hegemoni penguasa.
(Penulis adalah Kepala Sekolah Homeschooling Kak Seto Semarang)
Pantas jika pendidikan nasional kita, sejak kemerdekaan sampai reformasi, mengalami ketidakjelasan konsep. Karena pemegang kebijakan adalah birokrasi dan DPR yang merupakan kepanjangan tangan partai politk.
Kebijakan pendidikan “ketok palu” DPR merupakan perwujudan kepentingan partai penguasa. Akan dikemanakan arah pendidikan jika kita tergantung partai pemenang pemilu.
Akhirnya kita harus menyesal, jika produk pendidikan kita merupakan hegemoni penguasa. Gramsci menyatakan, hegemoni merupakan penggabungan kekuasaan yang melahirkan kesepakatan di antara warga negara melalui proses pendisiplinan diri. Masyarakat akan menyesuaikan dengan norma yang dibuat negara.
Rakyat didisiplinkan sedemikian rupa agar mengikuti kehendak penguasa. Gramsci berpendapat
peranan intelektual sangat penting dalam pertarungan hegemoni. Para intelektualah yang mempunyai kekuatan untuk melakukan kontrol kebijakan negara. Sedangkan intelektual sendiri terbagi dua kubu, yakni intelektual tradisional dan organik.
Intelektual oraganik juga terbagi dua yaitu yang pro hegemoni serta yang kontra. Tugas utama intelektual hegemonic adalah memastikan kapitalisme dapat diterima semua kelas. Kapitalisme adalah harga mati.
Sedang intelektual kontra bertugas membuat gerakan tersendiri, mengumpulkan kaum proletar dalam sebuah kelas sosial tersendiri agar tak tersentuh pandangan hegemonik pro kapitalis. Hegemoni menurut Gramsci adalah kondisi sosial dari seluruh aspek masyarakat yang disokong serta didominasi kelas tertentu. Pemerintah/ negara menancapkan hegemoninya dengan proses pendisiplian melalui lembaga sosial dan pendidikan (educational relationship).
Dari sini tampak lembaga pendidikan tidak akan bersikap netral karena dalam kungkungan penguasa. Civil society yang dibangun penguasa adalah tipe masyarakat madani yang semu karena mengekang kebebasan masyarakat untuk maju melalui pendidikan.
Pendidikan dan kebudayaan adalah alat perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan. Pandangan Gramsci telah membukakan mata kita lebar-lebar bahwa penguasa akan selalu melakukan manuver untuk menancapkan kekuasaan sampai ke akar-akar masyarakat melalui lembaga pendidikan.
Melalui jalur pemerintahan, penguasa mendikte kebijakan secara top down. Sedangkan melalui lembaga pendidikan, hegemoni pada tingkat akar rumput.
Solusi memecahkan masalah ruwet ini adalah seperti dikemukakan John Dewey. Jika tujuan pendidikan adalah manusia yang bebas dari segala kungkungan apa pun dan siapa pun, maka perlu dibentuk badan independen yang khusus menangani pendidikan.
Badan ini diisi peneliti dan pakar yang khusus mengkaji, meneliti, serta memberikan arahan pendidikan nasional. Sehingga hasil lembaga independen ini adalah sebuah keputusan yang “bebas” dari hegemoni penguasa.
(Penulis adalah Kepala Sekolah Homeschooling Kak Seto Semarang)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.