HARSEM/ARIS WASITA WIDIASTUTI Heni Tri Yuliastuti menunjukkan pupuk organik produksi sekolah |
SEBAGAI sekolah yang menjadi langganan titik pantau Adipura, SDN Srondol Wetan 02 Semarang memiliki halaman sekolah yang rimbun. “Jumlah tanaman sangat banyak sehingga sampah daun yang dihasilkan juga banyak sekali,” ungkap Kepala Sekolah Heni Tri Yuliastuti.
Saking banyaknya, setiap hari tiga tong sampah besar penuh oleh sampah daun. Sampah sebanyak itu sayang kalau dibuang begitu saja. Daripada mubazir, akhirnya digunakan sebagai bahan baku pupuk organik.
“Pupuk organik produksi kami sudah banyak yang membeli, terutama orangtua siswa. Namun kami prioritaskan untuk memupuk tanaman sekolah,” kata dia.
Dijelaskan, dalam pembuatannya, sekolah mengajak semua warga sekolah. “Mulai dari guru, siswa hingga tukang kebun dilibatkan,” jelasnya.
Dikatakan, satu bungkus pupuk dijual Rp 2.500. “Memang belum dijadikan bisnis. Hanya saja, siapa saja yang ingin membeli selama ada stok pasti kami layani,” urainya.
Dalam proses pembuatannya, siswa bertugas memilah sampah. “Dipisahkan sampah organik dengan anorganik. Misalnya sampah plastik, nanti dipisahkan untuk gunakan praktik siswa,” jelasnya.
Dengan jumlah sekitar 500 siswa, pekerjaan memilah sampah lebih terasa ringan. “Adapun pekerjaan membongkar sampah yang sudah menjadi pupuk dilakukan oleh tukang kebun dan guru. Itu dilakukan setengah tahun sekali. Hingga saat ini kami sudah memproduksi sekitar 180 sak pupuk,” jelasnya.
Sekolah juga bekerjasama dengan dinas Badan Lingkungan Hidup (BLH) untuk pengolahan sampah dengan cara lebih moderen. “Kami diberi alat komposter, gunanya untuk membuat sampah. Namun karena sampah terlalu banyak, tidak semua bisa kami tampung,” kata dia.
Banyak kegiatan lain untuk menjaga penghijauan. “Kami juga memiliki rumah hijau. Isinya berbagai macam tanaman bunga dan buah,” tukasnya. (awi/nji)
Saking banyaknya, setiap hari tiga tong sampah besar penuh oleh sampah daun. Sampah sebanyak itu sayang kalau dibuang begitu saja. Daripada mubazir, akhirnya digunakan sebagai bahan baku pupuk organik.
“Pupuk organik produksi kami sudah banyak yang membeli, terutama orangtua siswa. Namun kami prioritaskan untuk memupuk tanaman sekolah,” kata dia.
Dijelaskan, dalam pembuatannya, sekolah mengajak semua warga sekolah. “Mulai dari guru, siswa hingga tukang kebun dilibatkan,” jelasnya.
Dikatakan, satu bungkus pupuk dijual Rp 2.500. “Memang belum dijadikan bisnis. Hanya saja, siapa saja yang ingin membeli selama ada stok pasti kami layani,” urainya.
Dalam proses pembuatannya, siswa bertugas memilah sampah. “Dipisahkan sampah organik dengan anorganik. Misalnya sampah plastik, nanti dipisahkan untuk gunakan praktik siswa,” jelasnya.
Dengan jumlah sekitar 500 siswa, pekerjaan memilah sampah lebih terasa ringan. “Adapun pekerjaan membongkar sampah yang sudah menjadi pupuk dilakukan oleh tukang kebun dan guru. Itu dilakukan setengah tahun sekali. Hingga saat ini kami sudah memproduksi sekitar 180 sak pupuk,” jelasnya.
Sekolah juga bekerjasama dengan dinas Badan Lingkungan Hidup (BLH) untuk pengolahan sampah dengan cara lebih moderen. “Kami diberi alat komposter, gunanya untuk membuat sampah. Namun karena sampah terlalu banyak, tidak semua bisa kami tampung,” kata dia.
Banyak kegiatan lain untuk menjaga penghijauan. “Kami juga memiliki rumah hijau. Isinya berbagai macam tanaman bunga dan buah,” tukasnya. (awi/nji)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.