HARSEM/SOKHIBUN NI’AM Para pemateri semiloka, Abu Hafsin (kiri) dan Mahmutarom, memaparkan pandangannya terkait masalah radikalisasi agama di hadapan peserta |
AGAMA harus dipahami secara seimbang antara simbolik dan esensinya. Dalam konteks Islam, agama harus dipahami dari sisi fikh dan tasawuf. Dengan cara demikian, suasana keberagaman terasa sejuk.
Demikian dikatakan Ketua Umum Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Jateng, Abu Hafsin dalam Seminar dan Lokarya (Semiloka), yang diselenggarakan atas kerjasama Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) dan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) dan Diklat Kementrian Agama (Kemenag) RI, di Hotel Grasia, kemarin (25/9).
Menurut Abu, simbol dalam beragama memang penting. Sebab, tanpa simbol-simbol yang diyakini bersama, membuat agama tereduksi menjadi keyakinan individual. “Tetapi jangan sampai agama hanya dipahami melalui simbol tanpa disertai pemahaman makna karena akan melahirkan iman kekanak-kanakan,” tegasnya.
Begitu pula jika penafsirannya bersifat absolut. Maka, orang akan memusuhi orang lain yang memiliki pendapat berbeda. “Padahal pada zaman nabi, pendekatan keagamaan yang bersifat tekstual dan kontekstual sudah ada. Nabi tidak pernah menyalahkan pengikutnya yang berseberangan pendapat. Bagi nabi, yang terpenting adalah motivasi dalam menjalankan perintah,” imbuhnya.
Ia mengatakan, nabi tidak pernah menghendaki monism, yaitu sikap penyeragaman dengan mereduksi seluruh fenomena prinsip. “Karena, monism menghambat tumbuhnya budaya islami,” tegasnya.
Selain pemahaman komprehensif, tindakan efektif untuk menciptakan kedamaian adalah dialog. “Tidak akan tercipta kedamaian jika tidak ada dialog. Namun dialog membahas permasalahan kemanusiaan, baik pendidikan, sosial dan ekonomi. Bukan membahas agamamu apa,” tandasnya.
Sementara, Guru Besar Ilmu Hukum Unwahas, Prof Mahmutarom menyatakan jihad ataupun dakwah harus dilakukan dengan bijaksana. “Sebab ibadah dalam agama itu sarat nilai sosial kemanusiaan,” ucapnya.
Selama ini, susah mewujudkan keberagaman di Indonesia. Penyebabnya dua faktor. Yakni faktor peranan dan faktor krisis kesadaran. Faktor peranan menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menjalankan undang-undang.
Masyarakat juga harus menyadari bahwa kebebasan agama adalah masalah fundamental dan bersifat individual. “Maka dari itu, kita tidak boleh menghakimi keyakinan orang lain, ini yang mesti kita sadari,” tegasnya. (sna/nji)
Demikian dikatakan Ketua Umum Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Jateng, Abu Hafsin dalam Seminar dan Lokarya (Semiloka), yang diselenggarakan atas kerjasama Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) dan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) dan Diklat Kementrian Agama (Kemenag) RI, di Hotel Grasia, kemarin (25/9).
Menurut Abu, simbol dalam beragama memang penting. Sebab, tanpa simbol-simbol yang diyakini bersama, membuat agama tereduksi menjadi keyakinan individual. “Tetapi jangan sampai agama hanya dipahami melalui simbol tanpa disertai pemahaman makna karena akan melahirkan iman kekanak-kanakan,” tegasnya.
Begitu pula jika penafsirannya bersifat absolut. Maka, orang akan memusuhi orang lain yang memiliki pendapat berbeda. “Padahal pada zaman nabi, pendekatan keagamaan yang bersifat tekstual dan kontekstual sudah ada. Nabi tidak pernah menyalahkan pengikutnya yang berseberangan pendapat. Bagi nabi, yang terpenting adalah motivasi dalam menjalankan perintah,” imbuhnya.
Ia mengatakan, nabi tidak pernah menghendaki monism, yaitu sikap penyeragaman dengan mereduksi seluruh fenomena prinsip. “Karena, monism menghambat tumbuhnya budaya islami,” tegasnya.
Selain pemahaman komprehensif, tindakan efektif untuk menciptakan kedamaian adalah dialog. “Tidak akan tercipta kedamaian jika tidak ada dialog. Namun dialog membahas permasalahan kemanusiaan, baik pendidikan, sosial dan ekonomi. Bukan membahas agamamu apa,” tandasnya.
Sementara, Guru Besar Ilmu Hukum Unwahas, Prof Mahmutarom menyatakan jihad ataupun dakwah harus dilakukan dengan bijaksana. “Sebab ibadah dalam agama itu sarat nilai sosial kemanusiaan,” ucapnya.
Selama ini, susah mewujudkan keberagaman di Indonesia. Penyebabnya dua faktor. Yakni faktor peranan dan faktor krisis kesadaran. Faktor peranan menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menjalankan undang-undang.
Masyarakat juga harus menyadari bahwa kebebasan agama adalah masalah fundamental dan bersifat individual. “Maka dari itu, kita tidak boleh menghakimi keyakinan orang lain, ini yang mesti kita sadari,” tegasnya. (sna/nji)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.