I Made Sudana |
PERIBAHASA ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk nampaknya melekat erat pada pria ini. Dialah I Made Sudana, pria yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia pendidikan ini bahkan sudah mendedikasikan hidupnya pada bidang yang saat ini digelutinya tersebut.
“Belajar tidak mengenal usia, karena sejatinya hidup ini adalah proses pembelajaran. Oleh karena itu sebagai insan yang bertakwa kepada Tuhan YME sepatutnya kita jangan pernah berhenti untuk belajar,” ujar pria kelahiran Klungkung, Bali, 8 Mei 1956 ini.
Bahkan, tak jarang suami dari Tri Budi Kusriyanis ini berusaha untuk selalu menularkan ilmu yang didapatnya kepada orang lain. “Falsafah saya, hidup adalah persembahan, salah satunya ilmu yang saya dapat ini, saya persembahkan kepada orang lain yang juga membutuhkan,” tegasnya kepada Harsem saat ditemui baru-baru ini.
Diakuinya, hingga saat ini dirinya masih terus belajar. “Karena menurut saya, masih banyak hal yang perlu saya pelajari,” lanjut dosen Unnes yang mengampu mata kuliah pengembangan profesionalitas guru dan mata kuliah penelitian tindakan sekolah ini.
Apalagi di dunia pendidikan, dikatakan, setiap tahun selalu saja ada pengetahuan baru yang harus dipelajari. “Terutama di bidang pendidikan, karena setiap tahun kita dituntut untuk meningkatkan mutu pendidikan yang ada, apalagi di Semarang ini yang merupakan ibukota provinsi,” kata pengagum Mahatma Gandhi ini.
Menurutnya, upaya pemerintah menerapkan sertifikasi bagi tenaga pendidik merupakan satu cara untuk semakin menyejajarkan pendidikan Indonesia dengan negara lain, khususnya di tingkat Asean. “Salah satu program yang sangat bagus adalah tenaga pengajar diharapkan bisa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, apabila banyak lulusan kita yang menguasai dua hal tersebut maka diharapkan angka pengangguran di negara ini bisa berkurang,” harapnya.
Mengenai suka duka menjadi pengajar, dirinya bercerita saat terlibat dalam pemetaan kebutuhan pendidikan dasar pascatsunami Aceh. Dikatakan, saat mengunjungi Aceh, banyak hal yang membuatnya prihatin. “Kala itu saya dan tim ditugaskan di daerah Pidi, betapa sedih hati saya melihat semua infrastruktur yang ada di sana hancur dan porak-poranda. Utamanya sekolah-sekolah dasar dan madrasah. Sepanjang mata memandang hanya puing-puing,” jelasnya.
Dijelaskan, melihatnya hal tersebut, dirinya merasa pasti berat tanggung jawab pemerintah khususnya departemen pendidikan. “Karena pemerintah pasti harus secepatnya memperbaiki kondisi tersebut, saya juga terpikirkan, pasti banyak sekali anak usi sekolah yang terbengkelai karena tidak bisa meneruskan pendidikannya,” kata dia.
Namun, anak-anak Aceh rupanya memiliki semangat yang tinggi. “Karena itulah kegiatan belajar mengajar dengan cepat kembali menggeliat,” tukasnya.
Untuk itulah, sejumlah pengalaman yang pernah dirasakannya tersebut membuatnya ingin terus setia kepada dunia pendidikan dan ingin terus menggali ilmu yang belum didapatnya. “Karena ilmu yang kita miliki sejatinya bukan hanya milik kita, ajarkan dan tularkan, kepada orang lain, walau hanya sedikit. Dan yang paling penting teruslah belajar,” tandasnya. (aris wasita widiastuti/nji)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.