HARSEM/SOKHIBUN NI’AM Sultan HB X (kanan) dan Rektor Unika saat mengisi kuliah umum, kemarin |
SEBAGAI ideologi dan falsafah bangsa, Pancasila belum seutuhnya dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika bangsa ini ingin sejahtera, penerapan Pancasila merupakan keniscayaan.
Pernyataan itu disampaikan Raja Jogja, Sri Sultan Hamengkubuono (HB) X dalam kuliah umum Radikalisasi Nilai-nilai Pancasila: Membangun Wawasan Ke-Indonesia-an dalam Diri Mahasiswa, yang diselenggarakan Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, kemarin (19/9).
Di hadapan 1.200 mahasiswa yang mengenakan pakaian batik berbagai corak, Gubernur DIY prihatin Pancasila. Pejabat pemerintah selaku pemimpin negara kerap mengabaikannya. “Saya tidak tahu apakah mereka sengaja atau tidak paham Pancasila,” ucapnya.
Begitu pula dengan UUD 45. Ia contohkan, seperti terjadi pada proses pembuatan undang-undang tentang daerah istimewa. Di situ, Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta akan diubah statusnya sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama. “Ketika saya dipanggil ke DPR saya katakan bahwa sebutan itu menyalahi UUD 45. Begitu pula hak imunitas yang akan dilekatkan. Dengan hak itu, misalkan saya korupsi, maka tidak ada satupun yang bisa menyentuh saya,” jelasnya.
Selain itu, pemimpin kita tidak pernah mengajarkan di dalam satu itu ada perbedaan.
Padahal, dari perbedaan itulah kekuatan berbangsa dan bernegara. “Perbedaan bukanlah suatu kelemahan, karena dalam perbedaan kita kaya akan kekuatan. Kita harus percaya diri dengan perbedaan di dalam ke-Indonesia-an ini,” tambahnya.
HB X juga menilai, pejabat seharusnya tidak menyikapi segala sesuatu dengan komentar yang klise dan bersembunyi pada aturan hukum (rule of law). Tetapi, seharusnya lebih mengedepankan prinsip aturan moral (rule of moral).
“'Rule of law memang harus ditegakkan tanpa pilih kasih, namun sebagai pejabat publik sebenarnya harus lebih mengedepankan rule of moral,” katanya.
Sementara, Rektor Unika Prof Budi Widianarko menyatakan, bahwa sebagai tumpah darah Indonesia kita harus percaya diri bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar dan diperhitungkan negara internasional. Asalkan bisa menghilangkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang curam, serta dan memberantas korupsi.
Semangat patriotisme, dikatakannya, masih relevan untuk saat ini. Patriotisme bukan hanya saat perjuangan kemerdekaan. “Konteks patriotisme saat ini lain, seperti patriotisme untuk membangun bangsa. Memberantas kebodohan, memberantas korupsi, dan jenjang sosial. Patriotisme harus ada dalam jiwa seluruh bangsa Indonesia,” jelasnya. (sna/nji)
Pernyataan itu disampaikan Raja Jogja, Sri Sultan Hamengkubuono (HB) X dalam kuliah umum Radikalisasi Nilai-nilai Pancasila: Membangun Wawasan Ke-Indonesia-an dalam Diri Mahasiswa, yang diselenggarakan Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, kemarin (19/9).
Di hadapan 1.200 mahasiswa yang mengenakan pakaian batik berbagai corak, Gubernur DIY prihatin Pancasila. Pejabat pemerintah selaku pemimpin negara kerap mengabaikannya. “Saya tidak tahu apakah mereka sengaja atau tidak paham Pancasila,” ucapnya.
Begitu pula dengan UUD 45. Ia contohkan, seperti terjadi pada proses pembuatan undang-undang tentang daerah istimewa. Di situ, Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta akan diubah statusnya sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama. “Ketika saya dipanggil ke DPR saya katakan bahwa sebutan itu menyalahi UUD 45. Begitu pula hak imunitas yang akan dilekatkan. Dengan hak itu, misalkan saya korupsi, maka tidak ada satupun yang bisa menyentuh saya,” jelasnya.
Selain itu, pemimpin kita tidak pernah mengajarkan di dalam satu itu ada perbedaan.
Padahal, dari perbedaan itulah kekuatan berbangsa dan bernegara. “Perbedaan bukanlah suatu kelemahan, karena dalam perbedaan kita kaya akan kekuatan. Kita harus percaya diri dengan perbedaan di dalam ke-Indonesia-an ini,” tambahnya.
HB X juga menilai, pejabat seharusnya tidak menyikapi segala sesuatu dengan komentar yang klise dan bersembunyi pada aturan hukum (rule of law). Tetapi, seharusnya lebih mengedepankan prinsip aturan moral (rule of moral).
“'Rule of law memang harus ditegakkan tanpa pilih kasih, namun sebagai pejabat publik sebenarnya harus lebih mengedepankan rule of moral,” katanya.
Sementara, Rektor Unika Prof Budi Widianarko menyatakan, bahwa sebagai tumpah darah Indonesia kita harus percaya diri bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar dan diperhitungkan negara internasional. Asalkan bisa menghilangkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang curam, serta dan memberantas korupsi.
Semangat patriotisme, dikatakannya, masih relevan untuk saat ini. Patriotisme bukan hanya saat perjuangan kemerdekaan. “Konteks patriotisme saat ini lain, seperti patriotisme untuk membangun bangsa. Memberantas kebodohan, memberantas korupsi, dan jenjang sosial. Patriotisme harus ada dalam jiwa seluruh bangsa Indonesia,” jelasnya. (sna/nji)
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar, saran dan kritik anda di bawah ini!
Terima kasih atas kunjungannya, semoga silaturrahim ini membawa berkah dan manfaat untuk kita semua, dan semoga harsem makin maju dan sukses selalu. amin.