Diberdayakan oleh Blogger.
Latest Post

Berbasah-basah ke Sekolah

Written By Panji on Jumat, 14 Januari 2011 | 21.29

Hujan deras sedang “giat-giatnya” mengguyur Kota Semarang. Siswa yang bersekolah di kawasan banjir harus memutar otak mencari jalan yang bebas genangan.

SEJUMLAH siswa memutuskan untuk memilih jalan memutar agar tak menemui genangan air. Namun tak sedikit yang memilih tetap menerjang, meski kondisi air sangat kotor.

Tak jarang siswa harus melepas sepatu, berjalan tanpa alas kaki demi menyelamatkan sepatu dan koas kaki dari rendaman air. Beberapa siswa yang mengalami hal tersebut adalah siswa SDN Dadapsari.

Irdan adalah salah satunya (12) . Dia terpaksa menjinjing sepasang sepatunya setiap berangkat dan pulang sekolah. Siswa kelas 6 SDN Dadapsari ini mengatakan, hal tersebut sering terjadi di kawasan sekolah mereka. “Bahkan air sering sampai halaman sekolah kami, jadi halaman yang biasanya bisa buat bermain jadi nggak bisa kalau musim hujan gini,” ujarnya lesu.

Dikatakan, hal tersebut tak lepas dari salah satu daerah yang ada di Kelurahan Dadapsari. “Hujan sebentar saja air langsung menggenang. Apalagi kalau hujan mengguyur sehari semalam seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu itu,” jelasnya.

Meski demikian, dirinya tak pernah hingga sakit gara-gara selalu bersentuhan dengan air hujan. “Nggak pernah sampai sakit kok. Soalnya sudah biasa sejak kelas satu,” akunya.

Dirinya pun tak pernah merasa terganggu dengan keadaan tersebut. “Karena sudah biasa, jadi sudah bukan gangguan lagi. Saya juga tak malas masuk ke sekolah. Saya lihat teman-teman juga tidak malas,” tukasnya.

Minum Vitamin
Begitu pula dengan Slamet (12). Dia menjelaskan, selama ini kondisi fisiknya tak pernah terganggu gara-gara melewati banjir saat ke sekolah. “Kan memang kalau musim hujan selalu banjir. Biasanya malah lebih tinggi dari ini,” kata dia.

Dia mengaku tak pernah merasa risih atau jijik dengan banjir yang selalu menggenang di sekitarnya. “Malah bisa bermain bersama teman-teman di genangan air begini,” candanya.

Meski demikian, dia mengatakan jika sudah lulus SD dan melanjutkan ke SMP, ingin pindah sekolah yang bebas dari bajir. “Biar nggak perlu lepas sepatu setiap berangkat dan pulang sekolah,” jelasnya.

Demikian halnya dengan Windu (11). Dia mengatakan, setiap hari selalu diberi vitamin oleh orang tuanya agar tak gampang terserang penyakit. “Pak guru dan Bu guru juga sudah mewanti-wanti untuk makan yang banyak dan istirahat cukup agar tak gampang terserang penyakit,” ujarnya.

Dia mengatakan, meski selalu melewati genangan air setiap berangkat maupun pulang sekolah, hal itu tak pernah membuatnya bolos sekolah.

“Kalau bolos nanti dimarahi bapak dan ibu. Lagi pula banyak teman senasib, sama-sama kebanjiran,” paparnya.

Seperti rekannya yang lain, dia tak pernah merasa terganggu oleh banjir yang kerap datang di musim penghujan. “Nggak terganggu kok. Kalau ingin main tapi halaman sekolah banjir, berarti mainnya di dalam kelas aja,” tuturnya polos. (awi/nji)

Siswa SMKN 6 Magang di Singapura

Written By Harian Semarang on Senin, 03 Januari 2011 | 07.01

Beberapa siswa SMKN 6 Semarang akan magang di Java Kithcen Resto. Sebuah restoran Singapura yang memiliki menu spesial masakan Indonesia.

SMK Negeri 6 semarang kian mendunia. Prestasi mereka tak hanya diakui khalayak domestik, tetapi juga manca. Medio Desember, sekolah di Jalan Sidodadi Barat 8 Semarang ini menjalin kerjasama dengan perusahaan dan sekolah asal Singapura.

Kepala Sekolah H Ahmad Ishom mengatakan, pada 9-12 Desember lalu pihaknya melakukan kunjungan ke Java Kithcen Resto di singapura. “Kunjungan untuk menindaklanjuti MOU tentang
pendidikan sistem ganda yang sudah ditandatangani 27 November silam,” jelasnya.

Kunjungan diikuti Kepala Sekolah SMK N 6 Semarang didampingi Wakil Kepala Sekolah bidang Humas Ummi Rosydiana.

Menurut Ishom, restoran yang memiliki cita rasa khas Indonesia itu mempunyai enam outlet di tempat paling strategis di Singapura. Misalnya di kawasan Orchard Road yang merupakan jantung kota Singapura.

Dalam waktu dekat pihaknya akan mengirimkan siswanya ke Java Kithcen Resto. Mereka akan mengikuti job training (magang) selama enam bulan. “Siswa akan kami kirim setelah melengkapi persyaratan yang ditentukan,” jelasnya.

Selain ke Java Kithcen Resto, juga dilakukan kunjungan ke AEC College dan Colleman College. Keduanya mempunyai program studi Hospitality. Ishom mengaku beruntung bisa melihat secara langsung proses belajar mengajar di kedua sekolah papan atas itu.

Prestasi Akademik
SMK 6 Semarang memang identik dengan prestasi mata pelajaran kejuruan. Namun hal itu tak menjadikan sekolah tidak memrioritaskan pendidikan akademik.

Ahmad Ishom mengatakan, sekolah selalu mengingatkan siswa untuk tetap mengutamakan pendidikan akademik. “Kami tak ingin ketinggalan dengan sekolah lain dalam hal ini SMA,” jelasnya saat ditemui di ruang kerjanya.

Dijelaskan, sekolah memang dituntut terus mengembangkan pendidikan akademik. “Oleh karenanya, kami juga mendukung siswa untuk mengembangkan prestasi akademik. Karena bidang akademik sangat menunjang pelajaran. Juga sangat berpengaruh untuk masa depan,” paparnya.

Dikatakan pula, orangtua juga proaktif mengikuti perkembangan prestasi anak-anaknya. “Bahkan banyak yang tidak sungkan melakukan dialog dengan kami terkait perkembangan anak mereka,” bebernya.

Pihak sekolah juga sering mengundang orangtua untuk diajak berdiskusi mengenai perkembangan anak mereka. “Kami juga melakukan komunikasi dengan siswa melalui pendekatan di luar jam belajar. Misalnya memberikan bimbingan konseling saat siswa mengikuti upacara. Sekolah juga menggelar bimbingan konseling selama satu jam,” urainya.

Namun tak dapat dipungkiri siswa juga kerap mengalami masalah. “Tidak jarang hambatan justru muncul dari siswa sendiri. Mereka enggan mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Setelah kami lakukan home visit, tidak jarang kami menemui permasalahan yang hampir sama yaitu siswa merupakan korban broken home,” terangnya.

Dijelaskan, banyak siswa dari keluarga kurang mapan. “Itulah masalah yang sering kami temukan saat melakukan home visit,” imbuhnya.

Oleh karena itu, pihak sekolah merasa perlu melakukan pendekatan baik kepada orangtua maupun siswa. “Kami banyak memberikan pengertian kepada orangtua agar anak-anak mereka tidak dibebani permasalahan rumah tangga. Karena mereka masih anak-anak. Tak mungkin bisa turut menyelesaikan masalah tersebut,” tandasnya. (awi/nji)

Sekolah Islam Jangan Sekadar Label

PENAMAAN sekolah Islam mestinya tak hanya dilihat dari jumlah mata pelajaran keislaman. Lebih dari itu, bagaimana ajaran Islam diaplikasikan dalam sistem pendidikan. Hal itu diungkapkan Sarjuni dari Tim Rencana Strategi (Renstra) Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung (YBWSA).

Menurutnya, sekolah mesti menerapkan paradigma baru. Pasalnya, selama ini hanya menekankan iptek dan skill. Bahkan terkesan hanya untuk menghasilkan lulusan siap kerja. Sementara sisi pengembangan karakter tidak terjamah.

“Perubahan harus dilakukan, dimulai dari diri guru sendiri,” terang Sarjuni pada pembekalan guru bertema Peningkatan Sumber Daya Insani yang Kompetitif Menuju Generasi Khaira Ummah yang diselenggarakan Bidang Dikdasmen YBWSA. Acara dihelat di Gedung Fakultas Teknik Industri, Unissula Jalan Kaligawe Semarang, kemarin.

Dia berharap sekolah Islam jangan menonjolkan label. Misalnya nama sekolah atau busana. “Namun harus mengaplikasikan semua yang menjadi ajaran, pedoman, serta wawasan keislaman dalam semua lini pendidikan,” jelasnya.

Menurutnya guru dan pengajar sekolah Islam dituntut mampu memperkuat keislaman, budaya, keilmuan, serta melakukan penguatan islamic worldview. Di sini, guru dituntut memahami dasar-dasar visi islam sebagai cara pandang terhadap semua aspek kehidupan.

“Islam harus dipahami bukan hanya sebagai agama, tetapi juga pandangan hidup. Yakni sebagai asas berpikir dan berprilaku berdasarkan keimanan,” ucapnya. Menurutnya, seorang guru muslim akan memiliki cara unik dalam memperlakukan anak didik. Tugas utama sekolah Islam adalah melahirkan generasi khaira ummah, yakni generasi salih yang paling unggul. Yang dengan ketaqwaan dan keilmuannya akan memimpin dan menyelamatkan dunia.

Kepala Sekretariat Bidang Dikdasmen YBWSA Suyatmo menerangkan, pembekalan bagi guru-guru SD dan SMP dinaungan YBWSA ditujukan memperkuat kesiapan mereka memasuki tahap Renstra ke-2 YBWSA.

“Semangat berkelas dunia yang dicanangkan YBWSA memerlukan kesiapan luar biasa. Di sini kami menekankan agar seluruh guru meningkatkan kesiapan diri berubah dan belajar sungguh-sungguh berdasar ajaran Islam,” ungkapnya. (sna/nji)

Nasima Bangun Gedung Baru

Nasima membangun gedung baru. Peletakan batu pertama dilakukan oleh lima ulama.

SETELAH sekian lama bergabung dengan SD Nasima, unit Kelompok Bermain (KB) dan Taman Kanak-Kanak (TK) Nasima akan segera memiliki gedung sendiri.

Sebuah bangunan tiga lantai seluas 1.600 meter persegi akan dibangun di atas tanah seluas seribu meter persegi, di depan kantor Yayasan Jalan Puspanjolo Tengah Raya Semarang.

Kampus III yang direncanakan selesai pada awal tahun ajaran sekolah pada Juli 2011 ini, Senin lalu dimulai prosesinya dengan peletakan batu pertama oleh lima ulama.

Mereka, KH Dzikron Abdullah, KH Haris Shodaqoh, KH Hanif Ismail, KH Ahmad Hadlor Ihsan, dan KH Amin Syukur. Semua kiai pengasuh pondok pesantren itu, mendoakan keberkahan Nasima dan memasang batu pondasi.

Selain itu, Ketua Tanfidziyah PWNU Jateng HM Adnan juga hadir, bersama tokoh-tokoh kharismatik yang didampingi para pengurus Yayasan Pendidikan Islam Nasima dan keluarganya.

Lurah Bojong Salaman Anang, Kepala UPTD Dinas Pendidikan Kecamatan Semarang Barat Sri Yuliastuti juga hadir dan meletakkan batu di lubang pondasi.

Hadir pula seluruh guru dan karyawan YPI Nasima, serta perwakilan orangtua siswa. Tak ketinggalan, para santri Ponpes Roudlotul Qur’an An-Nasimiyah asuhan KH Hanief Ismail.

General Manager YPI Nasima Mila Christanty mengatakan, gedung KB-TK Nasima akan dilengkapi taman bermain di luar ruangan dan aneka fasilitas permainan di dalam ruangan.

Pihaknya tidak memborongkan pembangunan gedung tersebut kepada kontraktor, melainkan membentuk kepanitian sendiri.

Dan program program tersebut, terangnya, didukung para wali murid yang selama ini mendorong agar anak-anak mereka dipisahkan tempat bermainnya dari murid SD. “Alhamdulillah, kami telah bisa memulai menjalankan amanah para wali murid KB-TK dengan membangun gedung baru ini. Ini akan membuat pelayanan kami lebih baik lagi,” tuturnya.

Di lokasi yang hendak dibangung, dulunya ada gedung laborat komputer milik SD Nasima. Maka sebagai gantinya, perangkat komputer akan dipindahkan di ruang yang sekarang dipakai belajar/ bermain anak-anak KB-TK di lantai I Kampus PUD-SD Nasima. (moi/nji)

Hegemoni Penguasa dalam Pendidikan

Campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan telah lama menjadi persoalan. Manuver politik penguasa yang kerap ditumpangkan pendidikan merupakan bukti hegemoni rezim.

Pantas jika pendidikan nasional kita, sejak kemerdekaan sampai reformasi, mengalami ketidakjelasan konsep. Karena pemegang kebijakan adalah birokrasi dan DPR yang merupakan kepanjangan tangan partai politk.

Kebijakan pendidikan “ketok palu” DPR merupakan perwujudan kepentingan partai penguasa. Akan dikemanakan arah pendidikan jika kita tergantung partai pemenang pemilu.

Akhirnya kita harus menyesal, jika produk pendidikan kita merupakan hegemoni penguasa. Gramsci menyatakan, hegemoni merupakan penggabungan kekuasaan yang melahirkan kesepakatan di antara warga negara melalui proses pendisiplinan diri. Masyarakat akan menyesuaikan dengan norma yang dibuat negara.

Rakyat didisiplinkan sedemikian rupa agar mengikuti kehendak penguasa. Gramsci berpendapat
peranan intelektual sangat penting dalam pertarungan hegemoni. Para intelektualah yang mempunyai kekuatan untuk melakukan kontrol kebijakan negara. Sedangkan intelektual sendiri terbagi dua kubu, yakni intelektual tradisional dan organik.

Intelektual oraganik juga terbagi dua yaitu yang pro hegemoni serta yang kontra. Tugas utama intelektual hegemonic adalah memastikan kapitalisme dapat diterima semua kelas. Kapitalisme adalah harga mati.

Sedang intelektual kontra bertugas membuat gerakan tersendiri, mengumpulkan kaum proletar dalam sebuah kelas sosial tersendiri agar tak tersentuh pandangan hegemonik pro kapitalis. Hegemoni menurut Gramsci adalah kondisi sosial dari seluruh aspek masyarakat yang disokong serta didominasi kelas tertentu. Pemerintah/ negara menancapkan hegemoninya dengan proses pendisiplian melalui lembaga sosial dan pendidikan (educational relationship).

Dari sini tampak lembaga pendidikan tidak akan bersikap netral karena dalam kungkungan penguasa. Civil society yang dibangun penguasa adalah tipe masyarakat madani yang semu karena mengekang kebebasan masyarakat untuk maju melalui pendidikan.

Pendidikan dan kebudayaan adalah alat perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan. Pandangan Gramsci telah membukakan mata kita lebar-lebar bahwa penguasa akan selalu melakukan manuver untuk menancapkan kekuasaan sampai ke akar-akar masyarakat melalui lembaga pendidikan.

Melalui jalur pemerintahan, penguasa mendikte kebijakan secara top down. Sedangkan melalui lembaga pendidikan, hegemoni pada tingkat akar rumput.

Solusi memecahkan masalah ruwet ini adalah seperti dikemukakan John Dewey. Jika tujuan pendidikan adalah manusia yang bebas dari segala kungkungan apa pun dan siapa pun, maka perlu dibentuk badan independen yang khusus menangani pendidikan.

Badan ini diisi peneliti dan pakar yang khusus mengkaji, meneliti, serta memberikan arahan pendidikan nasional. Sehingga hasil lembaga independen ini adalah sebuah keputusan yang “bebas” dari hegemoni penguasa.

(Penulis adalah Kepala Sekolah Homeschooling Kak Seto Semarang)

SMPN 37 Bebaskan Siswa Liburan

MESKI sejumlah sekolah menggunakan libur Ujian Akhir Semester (UAS) untuk menambah jam pelajaran, ada juga yang membebaskannya untuk refreshing. Seperti dilakukan SMP Negeri 37 Semarang.

Wakil kepala Sekolah, Jamali mengatakan setelah mengadakan try out dua hari bagi siswa kelas IX, selebihnya digunakan untuk liburan. “Kami ingin liburan digunakan untuk refreshing,” paparnya saat ditemui Harsem di ruang kerjanya, kemarin.

Dikatakan, sekolah untuk tidak ingin kaku terhadap anak didik. “Justru dengan begitu siswa tidak merasa terbebani. Kalau sekolah terlalu menekan, kasihan,” paparnya.

Demikian pula ketika disinggung tugas dari guru mata pelajaran, Jamali mengatakan tugas tetap ada namun tak membebani siswa. “Tugas ada, namun tidak terlalu banyak. Agar tak setiap hari siswa berkutat dengan tugas,” terangnya.

Selain itu, sekolah juga tak melakukan pantauan khusus terhadap siswa di rumah. Menurutnya, susah memantau pergaulan siswa selama waktu liburan. “Kami sudah melakukan koordinasi dengan orangtua untuk memantau pergaulan anak. Karena kami tak ingin kecolongan,” bebernya.

Tak jarang, orangtua justru lebih proaktif menanyakan perkembangan anak mereka. “Banyak orangtua yang akrab dengan guru secara personal. Mereka memanfaatkan kedekatan untuk mengikuti perkembangan anak mereka,” tandasnya.

Meski demikian, pembinaan siswa yang akan diikutsertakan lomba tetap dilakukan. “Kalau itu pembinaannya bersifat terjadwal. Selain itu persiapan lomba tidak bisa dalam waktu singkat, terutama bidang olahraga,” jelasnya. (awi/nji)

Tetap Memantau Siswa

MASA liburan yang relatif lama, hingga dua minggu membuat sekolah was-was. Mereka khawatir siswa terlena. Sekolah berusaha memantau kegiatan siswa ketika di rumah. Baik menyangkut belajar maupun pergaulan.

Hal itu diakui Kepala Sekolah SD Negeri Peterongan 01- 03 Wardoyo. Ia mengatakan sekolah berupaya agar siswa tetap belajar selama liburan. “Kami meminta bantuan orangtua untuk ikut memantau anak mereka. Karena kami tidak ingin kecolongan perihal pergaulan siswa,” paparnya saat ditemui Harsem di ruang kerjanya, kemarin.

Dikatakan, salah satu upaya agar siswa tetap konsentrasi belajar di rumah, yaitu memberikan tugas terstruktur. “Tugas yang kami berikan cukup banyak. Hampir semua mata pelajaran memberi tugas. Tujuannya agar siswa tak kebanyakan bermain atau mengikuti pergaulan yang kurang baik,” urainya.

Pihaknya juga melakukan koordinasi dengan orangtua siswa. Dia berharap tugas yang harus dikerjakan di rumah tidak terlalu membebani siswa. “Tetap ada waktu untuk refreshing. Jangan sampai siswa stres akibat tugas sekolah yang terlampau berat,” jelasnya.

Tugas yang diberikan tak terlampau berat. “Misalnya kami memberikan tugas membuat tulisan mengenai pengalaman selama liburan,” terangnya.

Meski begitu, pihak sekolah memberi kelonggaran siswa untuk memanfaatkan waktu libur. “Kami sengaja tidak melakukan home visit. Kami hanya titip pesan kepada orangtua untuk memantau anak mereka,” imbuhnya.

Meski begitu, guru tetap memberikan pantauan khusus terhadap siswa yang membutuhkan perhatian. “Beberapa waktu lalu ada siswa kami yang terkena penyakit cacar air. Kami tetap ikut memantau,” tandasnya.

Wardoyo menegaskan, selama libur dua pekan, guru sekolah tetap masuk sekolah. “Kami menyelesaikan administrasi kelas, antara lain buku induk, taraf serap, analisis, serta grafik absensi,” terangnya.

Dijelaskan pula, guru juga memersiapkan diri untuk menghadapi materi semester dua. “Kami harus mempersiapkan diri menghadapai Ujian Nasional yang akan diikuti siswa kelas enam,” kata dia.

Dengan persiapan matang, dia berharap nilai rata-rata UASBN meningkat. “Paling tidak kami bisa memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) untuk UASBN nanti,” pungkasnya. (awi/nji)

Andalkan Internet untuk Kerjakan Tugas

LIBURAN tak boleh digunakan untuk santaisantai. Mayoritas pelajar mengaku dibebani banyak tugas sekolah. Untuk mengerjakannya, mereka mengandalkan internet.

Seorang siswa SMP, Eka (13) mengatakan, dirinya banyak mendapatkan tugas sekolah yang harus dikumpulkan pada hari pertama masuk sekolah.

“Tugasnya bermacammacam, mulai dari bahasa Indonesia sampai bahasa Jawa,” jelasnya yang etika ditemui Harsem tengah mengerjakan tugas di warung internet (warnet). Banyak data yang bisa diperoleh melalui internet. “Saya kurang suka tugas menulis Jawa,” akunya jujur.

Solusinya, dia menggunakan web tool untuk mengerjakannya. Memang tersedia banyak tool di internet yang bisa dimanfaatkan untuk menulis Jawa. Para pelajar yang “malas” bisa menggunakannya secara instan.

Dia juga mengatakan, rumus-rumus matematika yang rumit bisa dicari di dunia maya. “Kalau tanya ke teman nggak bisa, saya browsing untuk mencari rumus yang saya butuhkan. Pokoknya di internet semua yang saya butuhkan tersedia,” terangnya.

Dia mengaku memiliki ketergantungan terhadap internet. “Setiap hari saya menggunakan internet. Terutama untuk mengerjakan tugas sekolah.” Dia mengakui hal itu membawa sisi baik dan buruk. “Sisi buruknya saya mati kutu tanpa internet. Tapi sisi baiknya pekerjaan rumah cepat selesai,” tambahnya.

Biasanya dia tak langsung pulang setelah selesai. Tetapi sekaligus untuk membuka facebook dan berselancar situs lain. Lain halnya dengan Resti (12), siswa kelas VI SD ini juga mengaku sering browsing namun tidak untuk mengerjakan tugas. “Biasanya mencari materi pelajaran yang belum dipahami,” jelasnya.

Dikatakan, kadang ada materi yang tidak dia pahami saat disampaikan guru. Oleh karena itu dia melakukan pendalaman melalui bahan di internet. “Sistem belajar seperti itu sangat efektif bagi saya. Karena semakin banyak bahan pelajaran yang bisa saya temukan dan pelajari,” bebernya.
Dia mengakui memeroleh sistem belajar tersebut dari ayahnya. “Kebetulan ayah saya bekerja sebagai guru di sebuah SMA. Jadi beliau sangat memerhatikan prestasi belajar saya,” imbuhnya.

Meski begitu dirinya mengaku tak suka membuka-buka sesuatu yang tak dia mengerti. “Saya hanya mencari bahan penunjang pelajaran. Kalau bosan baru membuka facebook. Banyak teman yang juga memanfaatkan waktu libur untuk mengunjungi warnet,” pungkasnya. (awi/nji)

Liburan, Persewaan Buku Ramai

LIBURAN tak harus diisi dengan bermain atau jalanjalan. Ada beragam kegiatan asyik dan seru sebagai pengisi liburan. Tentu saja tanpa melupakan nilai edukasi.

Seperti yang dilakukan Sita. Siswa kelas V ini lebih sering menghabiskan waktu liburan dengan membaca buku, baik buku pengetahuan maupun cerita.

“Saya memang hobi berat membaca buku. Koleksi buku di rumah sudah cukup banyak, namun saya masih suka meminjam buku di persewaan,” ujar gadis yang bermukim di Kelurahan Lamper Kidul, Kecamatan Semarang Selatan ini.

Menurutnya, orangtuanya sangat mendukung kegemaran yang satu ini. “Kebetulan bapak juga senang membaca buku. Kami kerap pergi ke persewaan buku atau toko-toko buku bersama-sama,” ujarnya.

Selama liburan dia sudah menamatkan puluhan judul. “Untuk jenis buku cerita, saya menyukai dongeng putri. Sedangkan untuk buku ilmu pengetahuan saya menyukai tentang bunga dan buah,” paparnya saat ditemui Harsem, kemarin.

Perihal buku ilmu pengetahuan, Sita mengaku banyak membaca buku yang berhubungan dengan mata pelajaran IPA. “Misalnya proses ulat menjadi kupu-kupu atau bagaimana proses bunga bisa menjadi buah,” jelasnya.

Sementara, Fahri (12) siswa kelas VI juga mengaku hobi membaca buku. Bedanya dengan Sita, Fahri jarang membeli. “Kalau ingin membaca buku biasanya saya mendatangi kios persewaan buku. Koleksinya tak kalah komplit dibanding toko,” terangnya.

Kadangkala dia janjian dengan teman untuk bersama-sama pergi ke persewaan buku. “Meski libur, kami tetap mendapat uang saku dari orangtua. Daripada untuk jajan mendingan untuk meminjam buku,” bebernya.

Salah satu pengelola persewaan buku, Yadi (34) mengatakan setiap liburan pendapatannya mengalami kenaikan. “Kalau hari-hari biasa, siswa yang mampir hanya sekitar 20-an. Pengunjung lain dari kalangan umum. Namun kalau hari libur seperti ini bisa sampai penuh sehingga tempatnya sesak,” urainya.

Yadi enggan membeberkan omzet. Namun dia mengakui libur sekolah membawa berkah baginya. Dijelaskannya, karena mayoritas pelanggan adalah pelajar, pihaknya tak menyediakan buku “dewasa”.

“Dulu pernah ada konsumen yang menanyakan buku apa saja yang disewakan. Tak tahunya mereka guru sekolah. Tapi nggak apa-apa, karena memang kami tidak pernah ingin menyediakan buku dewasa,” pungkasnya. (aris wasita widiastuti)

Ma’arif Minta UAMBN Dikelola Madrasah

MA’ARIF NU Jawa Tengah menolak sistem Ujian Akhir Madrasah 2011 yang diselenggarakan Kementerian Agama RI. Pasalnya, pelaksanaan Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional (UAMBN) Madrasah Tsanawiyah (MTs) 2010/2011 menyimpang.

Ketua PW LP Ma’arif NU Jawa Tengah Mulyani M Noor menyatakan, bentuk penyimpangan adalah biaya seharusnya ditanggung Dana DIPA Pembiayaan penyelenggaraan UAMBN MTS. Ini berdasar Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor DJ.I/576/2009 bab X pasal 13.

Kenyataannya, biaya penggandaan naskah ditanggung peserta didik sebesar Rp 10 ribu per siswa untuk lima soal (Alquran hadis, akidah akhlak, fikih, sejarah kebudayaan Islam, dan bahasa Arab).

“Biaya UAMBN tidak realistis dan memberatkan siswa. Ini menunjukkan perhitungan yang tidak masuk akal. Padahal selama ini madrasah cukup mengganti ongkos cetak sebesar Rp 3.500 untuk tiap soal.“ jelasnya, di hadapan 1.600 kepala madrasah/ sekolah Ma’arif NU Jawa Tengah di Asrama Haji Donohudan Boyolali, beberapa waktu lalu.

Di samping itu, dalam naskah soal mata pelajaran tertentu seperti fikih terdapat materi soal yang sifatnya digeneralisasikan sehingga kurang mencerminkan ciri khas atau perbedaan pemahaman yang bersifat praktik ibadah.

Padahal pemerintah menganjurkan agar madrasah memunculkan ciri khasnya. Dia menilai, penggunaan UAMBN hanya akal-akalan dengan motif mendapatkan keuntungan tertentu. Jika memang konsisten dan bertanggung jawab, seharusnya Kementerian Agama pusat melaksanakan UAMBN secara sistematis, terjaga kerahasiaan soal, diawasi secara silang, dan dikoreksi secara sentral.

Hal ini jelas bertentangan dengan Undang- Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 pasal 48 ayat (1) yang berbunyi pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

Melihat kenyataan tersebut, Ma’arif NU Jateng mendesak Kementerian Agama RI agar pelaksanaan UAMBN harus dilakukan sistematis dan bertanggung jawab. Mulai dari pengetikan soal, pengeditan, penggandaan, dan koreksi hasil ujian.

Perihal biaya penggandaan soal, Mulyani yang juga kandidat Doktor Unnes mengatakan seharusnya ditanggung pemerintah sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam nomor DJ.I/576/2009.

Tetapi jika penyelenggaran UAMBN sama dengan tahun kemarin, Ma’arif NU Jateng mendesak Menteri Agama agar mengembalikan UAMBN pada sistem pengelolaan semula, yaitu diselenggarakan madrasah. (sna/nji)

Pendidikan Maju, Optimistis Lebih Bermutu

SEPANJANG 2010, dunia pendidikanKota Semarang mengalami kemajuan. Paling tidak dalam rentang setahun ini perhatian pemerintah untuk memajukan pendidikan terbilang serius.

Lihat, misalnya, pengalokasian anggaran pendidikan yang melebihi amanat undang-undang, mencapai 30%. Selain itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Walikota Soemarmo telah merumuskan delapan sasaran pendidikan (Sapta Program) yang akan diwujudkan dalam lima tahun mendatang.

Di antaranya peningkatan pemerataan dan jangkauan akses pelayanan pendidikan hingga mencapai 90%, peningkatan kualitas dan kuantitas sarana prasarana pendidikan hingga 75%, penyelenggaraan pendidikan anak berkebutuhan khusus serta mengembangkan budaya baca. Sasaran-sasaran itu akan diwujudkan dengan enam program pendidikan yang ditangani Disdik Kota Semarang.

Pada inventarisasi yang dilakukan pemerintah, ditemukan sebanyak 180 sekolah dari 460 SD dan SMP di Kota Semarang mengalami kerusakan pada fisik gedungnya. Pemerintah lantas menargetkan perbaikan seluruh sekolah rusak selesai 2013, dengan memrioritaskan perbaikan sekolah yang rusak berat dan berada di pinggiran.

Untuk pelaksanaan perbaikan di tahun 2010, pemerintah telah menggelontorkan dana Rp 5 miliar dari Dana Percepatan Infrastruktur Pendidikan (DPIP). Yakni Rp 3,5 miliar dari pusat dan Rp 1,5 miliar dari provinsi. Tentu, ini sebagaimana yang diharapkan banyak pihak.

Abdurrachman Faridi, Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan dan Pelayanan Bahasa Unnes merasa gembira melihat pelaksanaan pendidikan di Kota Semarang.

Menurutnya, upaya pemerintah dalam memerhatikan sarana dan prasana pendidikan merupakan wujud keseriusan yang akan sangat berarti bagi kemajuan pendidikan.

“Selama ini sekolah banyak menghadapi kendala dengan diberlakukannya program sekolah gratis. Bahkan, kebanyakan sekolah merasa takut melakukan penggalian dana secara mandiri untuk memerbaiki kerusakan sarana dan prasarana kepada wali murid. Padahal mereka tak punya sumber dana lain. Akhirnya mereka terpaksa menelantarkannya sehingga kegiatan pendidikan tidak optimal,” jelasnya.

Menurutnya, meningkatkan mutu pendidikan dengan mengandalkan dana BOS saja tidak cukup. Karena selama ini, banyak sekolah merasa tidak bisa meng-cover semua kebutuhan. Celakanya, jika dana tersebut mengalami keterlambatan pencairannya.

“Mestinya, kalau menuntut mutu pendidikan bagus, semua komponen harus memahami sekolah gratis secara proporsional. Namun, dengan apa yang mulai dilakukan pemerintah sekarang tentu menjadi angin segar bagi kemajuan pendidikan,” imbuhnya.

Tak kalah menggembirakan, sekolah-sekolah berstandar internasional mulai bermunculan dan menyebar hingga ke pelosok-pelosok daerah. Namun, tidak bisa dipungkiri jika ada beberapa di antaranya yang memasang standar tersebut hanya sebatas label.

Lebih terkesan memaksakan diri padahal belum betul-betul memenuhi syarat, seperti belum siapnya SDM bertaraf internasional. “Pelaksanaan standarisasi harus dikaji ulang, supaya ke depan dapat berjalan optimal. Persiapkan kualifikasi guru sesuai standarnya,” harapnya. (nji)

Murah, tapi Kualitas Terjaga

Meski merupakan sekolah swasta, bukan berarti siswa harus merogoh kocek dalam-dalam. Itulah yang terjadi di SMA Ibu Kartini. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Retno Wintarti mengatakan, biaya tambahan yang harus dibayarkan oleh hanya Rp 150 ribu per tahun.

“SPP perbulannya juga tak terlalu tinggi, untuk kelas satu Rp 145 ribu, kelas dua Rp 140 ribu, dan kelas tiga Rp 150 ribu. Khusus kelas tiga sudah termasuk tabungan,” paparnya ditemui saat harsem di ruang kerjanya, kemarin.

Sekolah dengan visi takwa, disiplin, berprestasi, dan budi pekerti ini berusaha memberikan motivasi kepada siswa agar tak melupakan doa. “Hasilnya, siswa memiliki motivasi dan kedisplinan tinggi,” imbuhnya.

Dijelaskan, siswa memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk pendidikan dan pergaulan mereka. “Kalau boleh membandingkan dengan sekolah swasta lain, siswa SMA Ibu Kartini lebih mudah dibina. Mereka tak terlalu nakal,” jelasnya.

Tanggung jawab yang tinggi diperlihatkan sikap siswa yang ikut membantu orangtua dalam bekerja. “Kebetulan mayoritas berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Mereka tak malu membantu orangtuanya berjualan gorengan,” paparnya.

Dikatakan pula, komunikasi antara pihak sekolah dengan orangtua juga sangat baik. “Kami sering melakukan berkoordinasi dengan orangtua siswa,” terangnya. Pihak sekolah selalu memberikan pengertian kepada siswa agar jangan berkecil hati meski keuangan minim. “Harus tetap semangat belajar,” tandasnya.

Jika ada siswa nakal, sekolah tetap memberikan sanksi. “Kalau terlambat empat kali, orangtuanya akan kami panggil,” tandasnya.

Selain itu sekolah juga sering melakukan home visit. “Home visit biasanya kami lakukan jika siswa membolos selama tiga hari berturut-turut,” terangnya.

Perihal bantuan kepada siswa, Retno mengatakan, sekolah berupaya mencarikan beasiswa bagi siswa kurang mampu. “Kami sering mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Kota Semarang. Jumlahnya sekitar 25% dari semua siswa,” bebernya. (awi/nji)

30 SD di Semarang Barat Digabung

Sebanyak 30 SD di Kecamatan Semarang Barat dimerger menjadi 13. Kepala sekolah baru juga telah dilantik.

UNTUK meningkatkan pelayanan dan memangkas biaya operasional sekolah, 30 SD negeri di lingkungan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pendidikan Semarang Barat dimerger menjadi 13.

Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Semarang Barat, Sri Yuliastuti mengatakan penggabungan sekolah yang dulunya dikenal sebagai SD kampus merupakan program Pemkot yang sudah lama direncanakan. Namun baru bisa dilakukan akhir 2010. Penggabungan dilakukan untuk optimalisasi mutu dan efisiensi biaya operasional.

”Sebelumnya di Semarang Barat ada 46 SD negeri, kini hanya 29,” jelasnya kepada Harsem, saat diwawancarai di ruang kerjanya.

Akibat penggabungan, nomenklatur sekolah juga berubah. Perubahan dialami baik sekolah yang dimerger maupun tidak (lihat tabel).

SD negeri yang tidak dimerger namun mengalami perubahan nomenklatur yakni SDN Bojong Salaman 04 (menjadi SDN Bojong Salaman 01), SDN Bojongsalaman 05 (SDN Bojongsalaman 03), SDN Margosari (SDN Manyaran 02) dan SDN KIP Karangayu (SDN Karangayu 03).

Kemudian SDN Anjasmoro (SDN Tawang Mas 01), SDN Tawak Rejekwesi (SDN Tawang Mas 02), dan SDN Salaman Mloyo 01 menjadi SDN Salaman Mloyo. “Perubahan nomenklatur dilakukan supaya urut dan tidak membingungkan,” imbuhnya.

Kepala Sekolah Baru
Selain marger, di penghujung akhir tahun kemarin UPTD Pendidikan Kecamatan Semarang Barat juga melakukan pelantikan dan serah terima jabatan (sertijab) kepala sekolah. Sertijab diadakan di aula SMA Negeri 6 Semarang Rabu (29/12/2010).

Dalam sertijab, 28 kepala sekolah menandatangani surat serah terima jabatan dengan diketahui Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Semarang Barat Sri Yuliastuti.

Hadir Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Semarang Bunyamin, Kepala UPTD Pendidikan Semarang Barat, Sekcam Semarang Barat, Lurah se-Kecamatan Semarang Barat, pengawas dan tamu undangan lainnya,

Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Semarang Bunyamin mengatakan sertijab untuk menindaklanjuti SK Walikota perihal penempatan personil di wilayah, termasuk di Semarang Barat..

Bunyamin mengharapkan para kepala sekolah bersama guru membimbing anak didiknya menjadi lebih baik. “Saya berharap jika ada anak kurang mampu ingin sekolah jangan langsung ditolak. Sekolah harus melaporkan kepada UPTD dan meneruskan ke Dinas Pendidikan untuk dicarikan solusi,” pesan Bunyamin.

Selain itu Bunyamin juga mengingatkan agar kepala sekolah tak mudah menerima guru wiyata bakti. “Sebulan dua bulan mungkin mereka mau tidak digaji. Tapi ke depannya kita belum tahu,” pesannya.

Bunyamin juga berpesan, mengingat Semarang masih dalam penilaian Adipura, diminta semua sekolah bekerjasama menjaga kebersihan lingkungan. “Sebagaimana pesan Pak Wali, kita harus bersinergi menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan agar Piala Adipura kita raih kembali,” tandasnya. (sna/lif/nji)

Ditanya Mekanisme BOS, Pejabat Bingung

ADA pengalaman menarik yang dialami Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian saat berkunjung ke Ternate Malulu. Pejabat Dinas Pendidikan setempat ternyata tidak ngeh mekanisme penyaluran BOS yang baru.

"Beberapa waktu lalu saya ke Ternate, ternyata dinas pendidikan tidak punya juknisnya. Mereka bingung mekanisme pencairan dana BOS akan seperti apa," ceritanya.

"Saya kemudian tanya ke pusat informasi dan humas (PIH) Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta. Ternyata menurut mereka sama saja dengan mekanisme pengelolaan BOS sebelumnya. Lho, ini bagaimana," tanyanya.

Hetifah mengatakan, perubahan mekanisme penyaluran dana BOS dari Kementerian Keuangan langsung ke pemerintah kabupaten/kota melalui rekening Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada 2011 merupakan perubahan kebijakan signifikan. Perubahan mekanisme agar tak terjadi penyimpangan dan korupsi.

"Intinya, sosialisasinya sangat kurang. Nantinya, apa yang harus diawasi, masyarakat mungkin juga tidak tahu," ujarnya.

"Kalau memang informasi dana BOS itu akan ditempel di papan pengumuman sekolah, apakah semua sekolah punya. Lalu, kemana masyarakat mau melaporkan," tambahnya.

Dia menuturkan, tanpa pengawasan yang baik, akan sangat sulit memonitor pengelolaan dana BOS di daerah.

"Seharusnya informasi yang tersedia akurat sehingga kita bisa cek langsung status dana BOS dan berapa yang sudah tersalurkan atau belum," ujarnya.

Hetifah berharap, pemerintah (Kemdiknas bersama-sama dan Dinas Pendidikan Daerah) bisa menetapkan satu mekanisme pengawasan yang baik, transparan dan akuntabilitasnya bisa dipertanggung jawabkan. Ia sendiri mengaku belum yakin.

Mulai 2011, mekanisme penyaluran dana BOS mengalami perubahan. Dana sebesar Rp 16,2 triliun itu langsung disalurkan oleh Bendahara Negara ke kas APBD Kabupaten/Kota untuk kemudian didistribusikan ke sekolah-sekolah di bawahnya. Sebelumnya, disalurkan melalui Kementerian Pendidikan Nasional. (nji)

Mendiknas: BOS Bukan Rahasia Negara

MENDIKNAS Mohammad Nuh menegaskan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan hak masyarakat. Oleh karena itu, mekanisme penyaluran dan penggunaannya juga merupakan ranah atau domain publik. Siapapun berhak mendapatkan informasi terkait penyaluran dan penggunaan dana BOS sebesar Rp 16,2 triliun itu.

"BOS ini domain publik bukan rahasia negara. Jadi, siapa saja punya hak mendapat informasi penggunaan BOS itu," ungkap Nuh dalam jumpa pers perubahan mekanisme penyaluran dana BOS di kantor Kementrian Pendidikan Nasional, Jakarta, Senin (27/12/2010).Hanya saja, lanjut Nuh, terdapat mekanisme tertentu untuk memperoleh informasi terkait dana BOS tersebut.

"Jangan setiap jam ada yang tanya, tanya lagi, sejam berikutnya tanya lagi. Nanti pekerjaan kepala dinas pendidikan hanya menjawab pertanyaan," katanya.

Seperti apa mekanismenya, Nuh tidak menjelaskan lebih lanjut. Untuk menjaga transparansi penyaluran dan penggunaan dana BOS tersebut, lanjut Nuh, setiap sekolah yang mendapat dana BOS wajib melaporkan pemanfaatan dana tersebut setiap tiga bulan sekali.

"Buat laporan di papan pengumuman sekolah-sekolah dan disampaikan ke manajemen BOS di daerah maupun di pusat," katanya.

Diberitakan sebelumnya, mekanisme penyaluran dana BOS akan mengalami perubahan pada 2011 nanti. Dana BOS yang semula disalurkan ke sekolah SD dan SLTP melalui Kementerian Pendidikan Nasional (pemerintah pusat), tahun 2011 akan disalurkan bendahara negara langsung ke pemerintah daerah untuk kemudian didistribusikan ke sekolah-sekolah. Diharapkan, dengan mekanisme sedemikian rupa, dapat terbangun budaya antikorupsi hingga ke tingkat sekolah.

"Semuanya transparan, semuanya bisa dipertanggungjawabkan sehingga sekolah bisa menjadi agen pembelajaran antikorupsi," pungkas Nuh. (nji)

Budaya Menulis Perlu Ditingkatkan

MASIH banyak dosen yang kualitas tulisan ilmiah atau artikelnya tergolong rendah. Untuk menghindari karya yang “asal-asalan”, budaya kepenulisan dosen perlu ditingkatkan. Juga ditunjang peningkatan kualitas referensi dan pendalaman materi tulisan.

Demikian disampaikan Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Suja’i ketika membuka Workshop Penulisan Artikel Jurnal Ilmiah di Kampus II IAIN Walisongo, baru-baru ini.

Ia menyatakan, tak mudah menulis di jurnal ilmiah terakreditasi. Sebab topik yang disajikan para dosen masih miskin rujukan dan tidak ada solusi. “Untuk menjadi dosen sejati, perlu dibuktikan dengan pemuatan karya dalam jurnal, terutama yang telah terakreditasi,” jelas Doktor Bahasa Arab alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Hal senada disampaikan Prof Mudjahirin Thohir. Selaku narasumber ia prihatin jurnal kampus hanya dijadikan media sosial. Siapa yang kenal dengan pengelola jurnal pasti dimuat, walaupun tulisannya tidak berkualitas. “Sudah saatnya jurnal kampus berubah. Jurnal kampus harus benar-benar memuat karya ilmiah” tegas Guru Besar Undip itu.

Jurnal harus menjadi referensi ilmiah yang berisi artikel berbobot dan layak jual. Walaupun memang penyakit utama pengelola jurnal adalah krisis penulis. Untuk itu, dosen muda harus bangkit dan menjadi sosok intelektual yang rajin menulis.

Narasumber lain, Sulaiman Alkumay, Pimred Jurnal Theologia IAIN Walisongo mengatakan, pada dasarnya menulis di jurnal ilmiah tidak sulit. Bahkan, siapa saja bisa menulis di jurnal ilmiah. “Banyak dosen yang tulisannya terpaksa tidak dimuat. Itu lebih karena faktor teknis. Misalnya referensi yang digunakan sudah kuno dan bukan sumber primer,” tegasnya.

Sementara, Saiful Amin Redaktur Jurnal Millah UII Yogyakarta membagikan trik bagi dosen agar mudah menembus jurnal ilmiah. “Asal kuat argumentasinya dan sangat akademis, pasti dimuat di jurnal akreditasi,” tegasnya. (sna/nji)

Siswa SMAN 3 Kerja Sosial di Panti

MOMEN liburan lazimnya dimanfaatkan untuk bersenang-senang. Misalnya berwisata atau sekadar berkumpul dengan anggota keluarga. Namun, siswa SMA Negeri 3 Semarang justru bekerja di panti asuhan, panti wreda, dan panti karya.

Di antaranya seperti dilakukan Felicia Ivanty (15), Ricky Kurniawan (16), Kezia Yemima Aprilia (16), Paska Bayu (16), dan Yochanan Maranatha (16). Siswa kelas XII Program Akselerasi itu melakukan kerja sosial di Panti Wreda Omega.

Selama empat hari, mulai 27 – 30 Desember 2010, mereka bekerja sebagai petugas panti. Di antaranya memandikan lansia, memasak, menyiapkan makanan hingga menghibur lansia yang tinggal panti di Jalan Rorojonggrang Kembangarum itu.

Tampak tidak sedikitpun ada rasa sungkan di benak mereka saat melakukan semua pekerjaan petugas panti. Bahkan dalam suatu kesempatan di ruang tamu mereka saling berbagi cerita dengan dua penghuni panti yang sudah berusia lanjut. Yakni Regina Utama (88) dan Margareta Sondakh (75). Mereka terlihat sangat dekat, seperti cucu dengan neneknya sendiri.

“Pada zaman dulu semua sekolah menggunakan bahasa Belanda. Makanya bahasa Belanda itu tidak asing bagi kami,” tutur Oma Regina, sembari sesekali mengajarkan bahasa Belanda kepada mereka.

Seperti kepada cucunya sendiri, petuah hidup pun sesekali terucap dari mulut kedua manula itu. Kepada siswa mereka berpesan agar serius belajar dan berjuang untuk mencapai kehidupan lebih baik.

“Manfaatkanlah waktu belajar kalian dengan baik dengan rajin belajar dan berjuang untuk kehidupan di masa mendatang. Kalian harus menggapai apa yang dicita-citakan,” pesan Oma Margareta.

Mengisi liburan dengan menjadi pekerja sosial merupakan kegiatan salah satu program yang telah dijalankan SMAN 03 Semarang sejak dua tahun lalu. Kegiatan dengan nama social care ini dilakukan untuk menyeimbangkan nilai akademis dan kepribadian, agar kepribadian siswa lebih lengkap dan utuh.

“Selain itu, juga menerapkan life skill dan mengasah kepedulian. Mereka tidak hanya harus pandai tapi juga bisa emahami kondisi sekitarnya,” jelas Kepala Sekolah SMAN 3 Semarang Hari Waluyo.

Dalam kegiatan ini, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk disebar di panti asuhan, panti wreda, dan panti karya di Semarang. Peserta social care adalah siswa kelas XII dari semua jurusan. (sna/nji)

Tahun Baru, Prestasi Baru

Tahun baru adalah saat yang tepat untuk mengubah yang kurang menjadi sempurna, atau yang tidak baik menjadi baik. Hal itulah yang dilakukan oleh Rayna (9), siswa kelas tiga SD tersebut mengatakan, hasil ujian akhir semester satu yang diperolehnya kurang begitu baik, oleh karena itu dirinya sudah berjanji pada diri sendiri untuk memperbaikinya pada semester dua mendatang.

"Pada hasil ujian akhir semester satu kemarin, nilainya nggak bagus, jadi harus diperbaiki," tutur gadis mungil ini, kemarin. Dirinya mengungkapkan, orang tuanya juga kurang puas dengan hasil yang diperolehnya pada Ujian Akhir Semester (UAS) 1 ini. " Kemarin saya dimarahin sama bapak gara-gara nilai yang diperoleh kurang baik," jelasnya.

Dikatakan, pada saat itu dirinya mengaku kurang belajar. "Saya memang kurang belajar, karena kan saya juga ikut les tari di luar kegiatan ekstra kurikuler sekolah, oleh karena itu kemarin kegiatannya banyak banget," akunya.

Dikatakannya, orang tuanya sebetulnya sudah memberikan waktu luang untuk membimbing belajar saat di rumah, namun Rayna sendiri mengatakan, dirinya kurang memperhatikan saat diberikan bimbingan belajar oleh kedua orang tuanya. "Setiap pulang sekolah, sama bapak saya dilarang main, hraus tidur siang, baru nanti setelah bapak pulang kerja saya diajarin sama bapak," kata dia.

Dirinya pun mengatakan, sudah mengatakan kepada bapaknya untuk diikutkan les di luar sekolah. "Memang kalau di sekolah ada les, namun saya pengen ikut les di luar juga biar pengetahuannya tambah banyak," imbuhnya.

Senada, Lindri (14), siswa kelas 2 SMP ini mengatakan, pada hasil UAS 1 kemarin, dirinya mendapatkan nilai yang kurang maksimal. "Karena terlalu banyak main, jadi nilainya jelek," kata dia.

Dirinya juga sempat dimarahi oleh kedua orang tuanya karena hasil yang diperoleh kurang baik. "Bahkan saya juga sempat dihukum oleh kedua orang tua saya, yaitu tidak boleh keluar main dengan teman-teman selama satu minggu," bebernya.

Dikatakan, sebetulnya orang tuanya sudah sangat disiplin dalam mengatur jadwal untuk dirinya belajar, namun diakuinya karena kesibukan orang tua dalam bekerja, sehingga pengawasan sangat kurang. "Kalu orang tua kan kerjanya sampai malem, jadi saya cuma di rumah dengan nenek saja, jadi yang ngawasin cuma nenek saja," paparnya.

Diakuinya, sebetulnya neneknya juga sudah sering meminta Lindri untuk belajar. "Sebetulnya saya tidak boleh bermain sama temen selama masih jadwal ujian, namun kadang masih tergoda kalau ada temen yang ngajakin main atau sekedar mandi di sungai," ujarnya.

Dalam hal ini rupanya peran kedua orang tua masih sangat dibutuhkan. Tak hanya sekedar memberikan atau membuat jadwal belajar saja, namun pengawasan yang intens juga harus dilakukan. Kalaupun orang tua disibukkan dengan bekerja, ada baiknya jika peran bimbingan belajar terhadap anak tersebut diserahkan kepada guru kelas. Hal itu akan lebih efektif dari pada tidak dikonsultasikan dengan siapapun. (aris)

Dinas Pendidikan

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HARIAN SEMARANG - Education - All Rights Reserved
Template Created by Mas Fatoni Published by Tonitok
Proudly powered by Blogger