Assalamu'alaikum wr wb hay guys,,, Nama saya Gustiarsih Kusumaningtyas, biasa di panggil Tyas, namun banyak juga yang memanggil saya Gusti,,, terserah kalian aja deh mau manggil apa, tap ...

Read more »

NUR CAHYANI DESY PERMATASARI  Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh :D Hello, nama saya Nur Cahyani Desy Permatasari biasa dipanggil Tata atau Mita. Berasal dari SMK Negeri 11 (Gra ...

Read more »

Assalam'ualaikum wr.wbPertama-tama saya Nur Rochkimatul Aminin siswa dari SMKN 8 Semarang mengucapkan banyak terima kasih kepada Harian Semarang, karena telah di izinkan buat bisa magang disini ...

Read more »

Vera Dwi Veronika :-D Assalamu'alaikum wr.wb Perkenalkan nama saya Vera Dwi Veronika biasa di panggil vera. Saya dari SMKN 8 Semarang, sudah hampir 2 bulan saya magang di Harian Semarang ...

Read more »

SEMARANG-Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, menyelenggarakan seminar nasional dengan Tema "Kompetensi Pengelola Informasi di Era Globalisasi, di Gedung P ...

Read more »

Semua peserta Kompetisi Sains Madrasah (KSM) asal Jateng membawa pulang medali, yakni 4 emas, 4 perak dan 3 perunggu. Mereka berfoto bersama Ketua Kontingen Jateng Akhmad Su'aedi SPd di sela-sel ...

Read more »

Peserta memperagakan formasi dalam Lomba Paskibra Java Twenty Five Award (Avatar) ''One Determination on The World'' yang digelar di lapangan upacara dan aula SMPN 25 Semarang, kemarin. SEMARANG ...

Read more »

 Rektor Unwahas Dr Noor Achmad (kiri) bersama Komisioner OJK dan pihak perguruan tinggi seusai penandatangan MoU SEMARANG-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggandeng sejumlah perguruan tinggi di ...

Read more »
Diberdayakan oleh Blogger.
Latest Post

Gadis Spicy yang Hobi Fotografi

Written By Harian Semarang on Selasa, 30 November 2010 | 01.55

Meriana Andika Alicia Goesmono

DIJULUKI gadis spicy bukan lantaran wajahnya judes, lho. Tampangnya imut kok. Apalagi jika ada yang menggoda, pipi siswa Kelas X-6 SMA Negeri 9 Semarang ini langsung merona merah.

Meriana Andika Alicia Goesmono merupakan Wakil Ketua Semarang Photograpy Community (Spicy). Komunitas ini terbentuk dua tahun silam. “Komunitas ini terbuka untuk umum, tetapi mayoritas anggotanya pelajar,” ujarnya yang menjabat Sie Kepribadian, Pangudi Luhur, dan Budi Pekerti di OSIS ini.

Jadi jangan heran kalau kamu kerap memergoki dia menenteng-nenenteng kamera Nikon. Lahan buruannya bukan cuma Semarang, tapi hingga ke Jakarta tempat kelahirannya dan Tanah Toraja tempat ayahnya (pernah) bertugas sebagai anggota Polri.

"Aku memang senang fotografi, di Tanah Toraja banyak pemandangan indah, tapi Semarang juga tak kalah. Aku terkesan saat berburu foto di Klenteng Sam Poo Kong,” ujar gadis kelahiran Jakarta, 24 Juli 1996 ini.

Meriana memang beruntung. Ayahnya kerap pindah tugas sehingga dia bisa turut mencicipi keindahan alam di tempat ayah berdinas. Dari Jakarta, Tanah Toraja, Makassar, hingga Semarang. Hal ini membuat kepiawannya membidikan lensa semakin terasah.

“Sebentar lagi ayah pindah tugas ke Jakarta. Aku bingung kalau harus pindah lagi, kadung mencintai Semarang,” ujarnya.

Komunitas Spicy memiliki sekretariat di SMAN 9 Semarang. Anggotanya 58 orang namun yang aktif hanya sekitar 38. Selain di Spicy, Meriana juga kerap menjadi panitia pensi.

“Prestasi aku kebanyakan di bidang entertain,” ujar gadis yang tinggal di Jalan Sultan Agung Kompleks Akpol Blok B15 Semarang ini. (nji)

Guru Harus Humanis

AGAR pendidikan jauh dari kekerasan, guru diharapkan mendidik secara humanis. Deputi V Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayagunaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Wahyu Hartomo mengatakan, pendidik humanis harus dilakukan dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif.

“Pendekatan dialogis dilakukan dengan membangun dialog dengan murid, sifatnya komunikasi dua arah. pendekatan reflektif dengan membangun komunikasi dengan dirinya sendiri, introspeksi, dan evaluasi diri contohnya.

Sedangkan pendekatan ekspresif dilakukan dengan proses belajarmengajar yang sekreatif mungkin,” jelas Wahyu di sela-sela acara pelatihan guru di Jakarta, Senin (29/11) kemarin.

Sementara itu, pendidik yang berbhinneka mendidik dengan konsep multikultural. Menurutnya, konsep multikultural harus diangkat kembali mengingat saat ini wawasan kebhinnekaan di tengah masyarakat dirasakan sudah mulai memudar.

“Paham kebhinnekaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia saat ini bisa dibilang sudah mulai luntur. Untuk itulah, para pendidik perlu menanamkan kembali nilai-nilai multikultural dan kebersamaan kepada para siswanya,” tambahnya.

Para pendidik diharapkan bisa menjadi media untuk menyosialisasikan makna agama, radikalisme, dan terorisme yang sebenarnya dengan basis humanisme dan kebhinnekaan.

“Guru harus menjadi agent of change dan murid harus diberi pengertian tentang kebhinnekaan Indonesia. Nantinya, diharapkan dengan wawasan humanisme dan kebhinnekaan ini anak-anak kita tidak akan terjerumus kepada radikalisme berbasis agama,” tandasnya. (sna/nji)

Baru Kenal, Langsung Terlibat “Cinta Terlarang”

KERONCONG DI SMPN 23 SEMARANG

Baru belajar satu jam, siswa SMPN 23 Semarang sudah piawai memainkan Cinta Terlarang. Bukti keroncong makin diminati pelajar.

UPAYA pembumian musik keroncong di kalangan generasi muda yang dilakukan Dewan Kesenian Semarang (Dekase) dan para musisi keroncong yang tergabung dalam Himpunan Musisi Keroncong Indonesia (Hamkri) Semarang terbilang sukses.

Ketua Dekase, Marco Marnadi mengungkapkan bahwa ghiroh generasi muda dalam mengenali dan mempelajari musik keroncong sudah mulai signifikan. Buktinya, permintaan pengajaran musik keroncong di Semarang, ternyata tak hanya dari kalangan pelajar SLTA dan mahasiswa. Tetapi, sudah menembus hingga pelajar SLTP.

Benar nyatanya. Pada Sabtu (27/11) kemarin, para musisi Hamkari mengenjreng cak-cuk (gitar kecil), cello, bass, biola, flute, dan gitar di hadapan puluhan siswa SMPN 23 Semarang. Permainan mereka seolah menghipnotis puluhan siswa untuk belajar mencintai musik keroncong, salah satu musik asli Indonesia yang sudah ada sejak abad ke-16.

Dalam acara yang dihelat SMPN 23 Semarang bekerjasama dengan Dekase, bertajuk “Klinik-Seni Keroncong”, para siswa tak hanya berkesempatan menikmati alunan lagu-lagu merdu khas musik keroncong, seperti Bengawan Solo, Caping Gunung dan banyak lagi. Namun lebih jauh lagi dari itu, dalam kegiatan yang dihelat pada waktu jam sekolah itu, para siswa juga dikenalkan lebih jauh tentang instrumen-instrumen musik keroncong hingga teknik memainkannya.

Tak hanya teori, pada kesempatan itu para siswa juga dilatih memainkannya. Sesuai gagasan yang diterapkan Hamkari selama ini, para siswa dibebaskan menentukan lagu yang ingin dimainkannya. Hingga, disepakati bersama memainkan lagu Cinta Terlarang dari grup band The Virgin.

“Konsep pengenalan dan pengajaran musik keroncong yang dilakukan pasukan Warung Keroncong, Dekase dan Hamkri ini memang tidak melulu menggunakan lagu-lagu keroncong. Namun, agar siswa cepet nyantel, lagu disesuaikan dengan jiwa anak sekarang,” jelas Marco Manardi kepada Harsem, di sela-sela acara.

Pendidikan Karakter
Alhasil dari workshop singkat itu, pelatih dan para guru yang menyaksikan pun dibuat terheran-heran. Baru saja para siswa itu dikenalkan dengan musik keroncong, namun dalam sekejap mata, mereka langsung bisa memainkannya.

Lantunan lagu Cinta Terlarang yang mereka mainkan pun merdu terdengar. “Ternyata main musik keroncong itu asyik. Ternyata bisa juga untuk mengiringi lagu-lagu modern. Memainkannya juga tak sesulit yang saya bayangkan sebelumnya. Hanya saja, jarijari saya sempat terasa sakit karena tak terbiasa pegang alat cuk,” ungkap Daniel siswa kelas VII.

Semantara itu, S Agung Nugroho Kepala Sekolah SMPN 23 Semarang merasa sangat senang dengan kepiawaian anak didiknya memainkan musik keroncong.

Hal itu tidak ia duga sebelumnya. Untuk itu, dengan melihat antusiasme bakat anak didiknya itu, Agung Nuggroho semakin optimistis menerapkan pendidikan musik keroncong di lingkungan sekolah.

“Pembelajaran musik keroncong ini akan kami tindak lanjuti lebih jauh lagi. Kami akan membuat kegiatan pembelajaran rutin setiap minggunya karena pembelajaran musik keroncong ini juga bisa dikategorikan sebagai pendidikan karakter bagi siswa. Karena musik keroncong merupakan salah satu warisan budaya bangsa Indonesia yang harus dicintai dan dijaga,” tandasnya. (sohibun niam/nji)

Mbadut di Kelas Pun Dilakoni

Dia memiliki banyak strategi untuk mengajar siswa. Termasuk membadut di depan kelas. Pengagum Werkudara ini pun diganjar Satyalancana Karya Satya

UPACARA peringatan HUT Korp Pegawai Republik Indonesia (Korpri) ke-39, Senin (29/11) kemarin, diwarnai penyematan dan penganugerahan Satyalancana Karya Satya kepada 205 anggota Korpri dari berbagai instansi Kota Semarang. Anugrah diberikan pada sosok yang menunjukkan kecakapan, kedisiplinan, kesetiaan, dan pengabdiannya selama 10, 20 atau 30 tahun lebih.

Adalah Purwanto salah satunya. Kepala sekolah SDN Srondol Wetan 02-06 itu dianugerahi Satyalancana Karya Satya 30 Tahun oleh Presiden RI melalui Walikota Semarang, Soemarmo di halaman Balaikota Semarang.

Pagi itu, menjadi hari membahagiakan pria kelahiran Kulonprogo, 12 April 1955 tersebut. Kebahagiaannya tergambar jelas dari kalimat berbahasa Jawa yang ia tulis di secarik kertas setelah Harsem meminta tanggapannya berkaitan dengan anugerah yang ia terima pada kesempatan itu.

Usai upacara, pria yang piawai mendalang dan melantunkan geguritan itu menulis, caos syukur pujo-puji santi. Kanjuk ngarso Gusti Kang Kuwoso, kang peparing nugrahane. Bekti kulo satuhu, makaryo projo tumraping nagri. Darbe atur dedungo, nugroho satuhu, Satyalancana nironggan. Kang wis dadi jodho prasetyaning khalbi, mantebing karya satya.

Ya, melakoni profesi sebagai abdi negara selama 35 tahun, tepatnya mulai 1975 hingga sekarang, dengan menjaga konsistensi, baik kedisiplinan, kecakapan, dan kesetiaan, tentu bukan perkara mudah. Suka-duka pengalaman pernah ia alami sepanjang perjalanannya sebagai seorang guru.

Namun baginya, pengalaman pahit juga merupakan anugerah kenikmatan yang harus disyukuri. “Dedungo lan narimo ing pandum. Ora gresah lan gresulo (terus berdoa dan bersyukur. Tidak mengeluh),” jawab suami dari Susilowati itu, saat ditanya falsafah hidupnya.

Karakter Werkudara
Menjadi guru adalah pekerjaan sangat menyenangkan. Apalagi jika dilakukan ikhlas, cerdas, laras, profesional, dan proporsional. Sebagaimana ia terapkan pada dirinya selama ini. Berkesempatan mengajar anak-anak sudah menjadi cita-citanya sejak kecil. Karena menurutnya, dunia pendidikan adalah salah satu jalan menuju ibadah.

“Hal yang paling menggembirakan adalah bisa berbagi ilmu kepada anak didik. Bisa memperlihatkan kepada mereka mana yang benar dan salah, apa yang harus dipilah dan apa yang wajib dipilih. Agar bisa selamat baik di kehidupan dunia ataupun akhirat,” jelas ayah dua anak dan kakek satu cucu itu.

Baginya, pendidikan sangat penting. Pria paruh baya ini gandrung tokoh wayang berwatak jujur dan bertanggung jawab, yang tak lain Werkudara. Dia rela melakukan apa saja agar anak didiknya bisa termotivasi dan giat belajar. Nembang dan mbadut di depan kelas melakonkan tokoh Punakawan pun sering ia lakukan demi anak didiknya.

“Selain sebagai orangtua bagi murid-muridnya, guru juga teman. Jadi tidak perlu malu kalau tujuannya baik. Selain itu, jika penyampaian pelajaran dilakukan secara menyenangkan, pasti anak-anak lebih cepat paham,” tandas kepala sekolah yang juga mengajar PPKn itu. (sohibun niam/nji)

Kebanjiran Siswa Gara-gara Sepakbola

LANTARAN SMP Negeri 4 Semarang sering mengondol prestasi dalam bidang sepakbola, banyak siswa yang ingin masuk sekolah tersebut.

Kepala Sekolah SMP Negeri 4 Semarang Teguh Waluyo mengatakan, prestasi yang berhasil diperoleh antara
lain juara I tingkat kota, juara I tingkat karesidenan, juara I tingkat provinsi.

“Setelah itu kami mengikuti kejuaraan tingkat wilayah. Kebetulan kami masuk wilayah timur dan saat itu kami kembali berhasil menggondol juara I,” jelasnya saat ditemui Harsem di ruang kerjanya.

Selanjutnya, Teguh mengatakan, di wilayah timur ini, tim sepakbola SMPN 4 Semarang bertanding melawan tim dari daerah-daerah timur antara lain Bali, Jawa Timur, dan beberapa daerah lainnya.

“Karena kami berhasil menjadi juara, akhirnya kami bisa masuk Liga Pendidikan Indonesia (LPI). Di kompetisi tingkat nasional ini kami berhasil duduk di posisi lima,” paparnya.

Dijelaskan, pada LPI tersebut, tim sepakbola sekolah yang terletak di Kecamatan Gayamsari ini berhak mendapatkan hadiah berupa uang pembinaan sebesar Rp 50 juta. “Uang itu kami gunakan untuk persiapan mengikuti LPI tahun yang akan datang,” imbuhnya.

Prestasi lain yang berhasil diperoleh SMPN 4 Semarang lainnya yaitu lima siswanya berhasil mewakili Provinsi Jawa Tengah dalam tim sepakbola Indonesia di Piala Danone di Afrika Selatan. “Prestasi tersebut tak lepas dari dukungan orangtua yang mengikutsertakan anak mereka dalam klub sepakbola luar sekolah,” tandasnya.

Dia juga menjelaskan, saking terkenalnya akan kepiawaian mencetak bibit pemain sepakbola andal, banyak siswa yang ingin pindah sekolah ke SMPN 4 Semarang. “Banyak siswa sekolah lain yang ingin pindah ke sekolah kami,” lanjutnya.

Fasilitas yang diberikan oleh sekolah kepada para siswa, dikatakan Teguh, tak lepas karena ada minat dan bakat dari siswa bersangkutan.

“Oleh karena itu kami ingin memberikan fasilitas kepada siswa agar bakat mereka tersalurkan dengan baik,” tuturnya.

Mengenai program beasiswa, Teguh menjelaskan, pihak sekolah tak pernah lepas untuk mencarikan program beasiswa bagi para siswa berprestasi. “Khususnya untuk bidang olahraga,” tambahnya.

Selain itu, sekolah juga selalu memberikan pengertian agar siswa menggunakan piagam-piagam kejuaraan yang pernah diperoleh.

“Piagam-piagam tersebut ada nilai tambahnya. Bisa dimanfaatkan untuk melanjutkan pendidikan di tingkat SMA,” terangnya.

Untuk pengajar, Teguh mengatakan, pihak sekolah tak memanggil pelatih dari luar sekolah. “Pelatih sepakbola dari sekolah kami. Beliau adalah guru olahraga di sekolah ini,” ujarnya.

Kegiatan nonakademik lain di bidang olahraga juga terdapat di SMPN 4. Di antaranya basket dan voli. “Bahkan tim voli putri sekolah kami prestasinya sudah sampai tingkat Provinsi Jawa Tengah,” pungkasnya. (awi/nji)

DPR Ancam Bekukan Ujian Nasional

PELAKSANAAN Ujian Nasional 2011 terancam batal. Pasalnya, DPR mengancam akan membekukan anggaran.

“Kami tak main-main, anggaran akan kami bekukan jika pemerintah ngotot menggunakan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan,” ujar Anggota Komisi X DPR RI Rohmani. Jika pemerintah tetap menggelar UN dengan format lama, DPR akan membekukan anggaran UN 2011. DPR setuju UN dengan formula baru yang tidak memveto kelulusan siswa.

Menurut Rohmani, seharusnya Ujian Nasional tidak memveto kelulusan. karena kondisi sekolah tidak sama antara yang di kota dan daerah sehingga ada rasa ketidakadilan.

“Kami ingin UN tidak memveto kelulusan. Karena dengan adanya UN, siswa dan guru melenceng dari tujuan pendidikan ke ranah sempit, yaitu mengajar kognitif. Siswa dilatih mengerjakan soal UN saja itu sudah naif,” ujar Rohmani.

“DPR sudah mengultimatum Kementerian Pendidikan Nasional, bahwa DPR tidak akan memberikan anggaran pelaksanaan UN jika masih dijadikan standar kelulusan,” imbuh anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Sementara itu, dihubungi secara terpisah, Suparman, Koordinasi Education Forum dan Ketua Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mengatakan, seharusnya UN tidak ada. Meskipun dipaksakan ada, jangan sampai UN dijadikan standar penentu kelulusan.

Formula Baru “Harus dicari formula baru untuk penentu kelulusan seperti akumulasi nilai siswa dari semester awal sampai akhir atau mengumpulkan semua portofolio siswa seperti tugastugasnya,” kata Suprman.

Sebelumnya, Education Forum yang terdiri dari Tim Advokasi Korban UN, FGII, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Pengurus Besar Pelajar Islam Pendidikan, serta Tim Advokasi LBH Jakarta, mendesak Komisi X DPR RI untuk mengkaji ulang UN.

“Di Mahkamah Agung (MA), UN sudah diputuskan untuk ditiadakan karena melanggar hak anak, lalu mengapa sekarang masih dilanjutkan,” imbuh Suparman.

Suparman menuturkan, jika pemerintah dan badan standar nasional pendidikan (BSNP) masih terus memaksakan UN, apalagi menjadikannya sebagai penentu kelulusan, hal itu sama melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). (sna/nji)

Menjadi Pusat Latihan Sepak Takraw

UNTUK prestasi olahraga sepak takraw, sekolah ini tak bisa dianggap main-main. Namanya sudah terkenal hingga tingkat Karesidenan Semarang. Karena prestasinya itu lah, sekolah dipercaya menjadi pusat latihan pembibitan dini sepak takraw se-Kecamatan Gayamsari.

Itulah SDN Sawah Besar 01. Kepala sekolah Tri Hariyanti mengatakan, tim sepak takraw di sekolah tersebut sudah berhasil menjadi juara I di tingkat kecamatan dan kota hingga akhirnya bisa mewakili Kota Semarang untuk mengikuti kejuaraan di tingkat Karesidenan Semarang. “Sepak takraw sudah diadakan sejak 2004 silam.

Oleh karenanya sudah mendarah daging di sekolah ini,” jelasnya ditemui Harsem di ruang kerjanya, kemarin.

Dijelaskan, pengajar takraw merupakan guru olahraga setempat. “Jadi kami tak perlu mengundang pelatih dari luar. Karena guru olahraga di sini mampu membimbing siswa,” imbuhnya.

Untuk pembibitan, urai Tri Haryanti, sudah dilakukan kala siswa masih duduk di kelas III. “Kelas tiga sudah mulai dilihat kemampuan mereka. Saat kelas empat sudah kami ikutkan ke penyaringan untuk membentuk tim unggulan sekolah,” paparnya.

Dijelaskan, cukup banyak siswa yang digembleng saat penyaringan. “Kami memiliki banyak bibit pemain sepak takraw. Nanti akan dipilih enam siswa untuk masuk tim inti,” tukasnya.

Perihal kendala, Tri Haryanti menjelaskan perihal biaya. “Kendala pada ketersediaan anggaran. Karena kami mengikuti banyak perlombaan, otomatis dana operasional yang kami butuhkan cukup banyak,” jelasnya.

Untuk biaya operasional , sekolah masih mengandalkan dana BOS serta pendamping BOS. “Selain itu kami juga memperoleh bantuan dana operasional dari Disospora. Dana untuk membiayai keikutsertaan siswa saat mengikuti lomba,” bebernya.

Oleh karena itu, meski dana menjadi kendala, pihak sekolah tak pernah menjadikannya sebagai hambatan. “Justru di situlah tantangannya,” tambahnya.

Tri Haryanti mengatakan justru kendala muncul dari siswa sendiri. “Stamina tubuh mereka yang naik turun membuat mereka tidak maksimal ketika menghadapi kompetisi,” urainya.

Diakuinya, meski mayoritas orangtua bekerja sebagai buruh, mereka sangat mendukung. “Meskipun dukungan baru sebatas moril, namun kami sangat bahagia atas perhatiannya,” terangnya.

Prestasi lain di antaranya juara II lomba lukis tingkat kota, juara II cabang atletik tingkat provinsi serta juara II pramuka tingkat kota.

Kegiatan ekstrakurikuler untuk kelas I dan II adalah komputer dan sempoa. “Banyak orangtua sangat bersemangat ketika mengikutkan anaknya untuk mengikuti eskul,” pungkasnya. (swi/nji)

Naik Gajah Senang, Naik Bus AC Heran

Written By Harian Semarang on Senin, 29 November 2010 | 23.45

SD Juara Semarang memberikan inovasi baru dalam penerapan softskill. Agar lebih mencintai alam, siswa diajak mengunjungi Taman Margasatwa Mangkang Semarang

PERJALANAN ini dirasa berbeda karena 60 siswa yang mengikuti kegiatan telah dibekali buku panduan field trip. Buku berisi tata tertib selama kegiatan, tugas dari masingmasing bidang studi, serta kumpulan doa selama perjalanan.

Sebelumnya, terlebih dahulu mereka dibagi menjadi 10 kelompok. Bagi sebagian siswa, hal ini merupakan hal baru bagi mereka. “Baru pertama naik bus yang ada AC-nya, dingin,” celoteh Ali salah satu siswa.

Softskill juga diajarkan ketika masih berada di dalam bis. “Selain doa perjalanan, lantunan Asmaul Husna Husna pun dikumandangkan. Hal ini untuk mengasah ingatan siswa tentang doa yang perlu dihafal.

Sekaligus menanamkan keyakinan terhadap Allah,” ujar Joko, Kepala SD Juara. Penyampaian Asmaul Husna bergantian dengan beberapa pembelajaran tentang rambu lalulintas.

Sesampainya di Bonbin Mangkang, siswa diberi kebebasan untuk mempelajari alam dan dunia fauna. Tri Wahyudi, Wakil Kepala Bidang Kesiswaan SD Juara Semarang mengungkapkan memilih Taman Margasatwa Mangkang karena memadukan konsep pendidikan (education) dan konsep pariwisata (tourism). “Perpaduan ini sangat serasi. Berada dalam satu ruang dan satu waktu. Sehingga mampu menjadi sarana penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah,” ujar Yudi Tak hanya belajar di alam, siswa SD Juara yang umumnya berasal dari keluarga kurang mampu itu juga berkesempatan berinteraksi langsung dengan aneka satwa dan menaiki gajah yang dipelihara Bonbin Mangkang. (nuh/nji)

Menyanyi Jadi Andalan

MESKI belum menuai banyak prestasi, namun antusiasme siswa untuk mengikuti ekstrakurikuler yang diadakan sekolah tetap besar. Hal itu dipaparkan Kepala Sekolah SDN Miroto 01-03, Siti Nurohmah. Dikatakannya, eskul yang banyak menarik minat siswa adalah menyanyi. “Eskul yang satu ini memang banyak peminatnya. Antusiasme siswa sangat tinggi,” jelasnya ditemui Harsem di ruang kerjanya.

Sekolah menyediakan banyak alternatif ekstrakurikuler. “Kami menyediakan eskul komputer, gambar, silat, tari, catur dan pramuka. Kalau pramuka dan komputer sifatnya wajib, semua siswa harus mengikutinya. Eskul lain sifatnya tidak wajib, boleh memilih yang mereka minati,” paparnya.

Dijelaskan, eskul komputer diwajibkan bagi siswa kelas II hingga VI. “Karena komputer sangat berhubungan dengan pendidikan akademis. Oleh karena itu kami mewajibkan agar siswa mengikuti kegiatan ini,” imbuhnya.

Siti mengakui, meski banyak kegiatan yang tersedia bagi siswa, sekolah masih belum banyak mendapatkan prestasi. “Sebenarnya prestasi ada, tapi harus kami akui belum pantas dibangggakan,” ujarnya merendah.

Dijelaskan Siti, sekolah selalu mengikutsertakan siswa di setiap kejuaraan yang digelar di tingkat kecamatan. “Kami selalu mengikuti lomba meskipun belum meraih juara. Karena bagi kami perlombaan sangat bermanfaat bagi siswa untuk menambah keberanian dan jam terbang kala harus tampil di depan banyak orang,” urainya.

Dia menjelaskan, dari sekian kegiatan yang dilaksanakan sekolah, 50% instruktur masih diambil dari luar sekolah. “Kami masih memanggil pengajar dari luar. Karena kalau memanfaatkan dari internal belum bisa memenuhi standar,” terangnya.

Sementara itu, untuk kegiatan di bidang akademis, Siti mengaku, juga belum banyak menuai prestasi. “Namun pantas kami syukuri bahwa 100% alumni sekolah ini bisa masuk ke SMP negeri. Bagi kami hal tersebut merupakan sebuah kebanggaan dan motivasi agar bisa selalu memberikan yang terbaik bagi siswa,” tukasnya.

Prestasi yang hingga saat ini diperoleh SDN Miroto 01-03, baru sebatas peringkat II atau III untuk siswa berprestasi di tingkat kecamatan. “Namun alhamdulillah rata-rata kelas mencapai 25,41,” tambahnya. (awi/nji)

Terpaksa Gunakan Gamelan Slenco

Lantaran tak punya anggaran membeli peralatan baru, siswa terpaksa menabuh gamelan slenco. Namun eskul karawitan jalan terus.

SEBAGAI salah satu seni yang khas di Indonesia, karawitan perlu dijaga keberadaanya. Karenanya, SDN Manyaran 01-02-03 menumbuhkan semangat mencintai tradisi yang telah mengakar itu pada generasi muda, terutama anak didiknya melalui program pendidikan ekstrakurikuler di sekolah.

Kepala Sekolah SDN Manyaran 01 Amos Musadi menjelaskan, program berupa pelatihan karawaitan ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan pihak sekolah untuk melestarikan kesenian karawitan, yang keberadaannya saat ini terbilang telah ternarginalkan.

“Namun kegiatan yang kami gelar rutin dalam tiap pekannya ini hanya kami fokuskan untuk siswa yang duduk di kelas III dan kelas IV. Itu pun berlaku hanya untuk yang berminat,” jelasnya kepada Harsem.

Sekolah terpaksa membatasi pengajaran hanya untuk kelas III dan IV karena kegiatan eskul karawaitan diperuntukkan bagi siswa-siswi di tiga sekolah yang berdiri pada satu lokasi di Jl Wr Supratman 178-180 tersebut.

“Kalau dihitung berdasarkan jumlah kelas, maka ada enam kelas yang mengikuti kegiatan eskul karawaitan ini,” jelas Amos mewakili Nur Rahulawati Kepsek SD Manyaran 02 dan Triani Ambarwati Kepsek SD Manyaran 03.

Bagi tiga sekolah dasar tersebut, eskul karawitan merupakan program pengembangan bakat dan minat. Karena, dari pelaksanaan eskul ini kelestarian budaya leluhur bisa terjaga. Selain itu, juga dapat digunakan sebagai sarana untuk pengukiran prestasi siswa di bidang nonakademik.

Dengan keberadaan pelatih yang notabene adalah guru SDN Manyaran 01 sendiri, peluang keberhasilannya dalam pencapaian tujuan pengembangan eskul terbuka sangat lebar.

Mengingat kompetensi guru yang sukarela melatih para siswa tersebut sudah bagus, karena berlatarbelakang seniman karawitan. Hanya saja, keterbatasan dana menjadi kendala berat bagi pelaksanaannya, utamanya pengadaan instrumen karawitan baru.

“Kami memiliki perangkat instrumen karawitan sendiri. Namun, kondisinya bisa dibilang sudah tidak layak. Ketika dibunyikan, suaranya sudah slenco tak sesuai notasi pakemnya. Beberapa waktu lalu kami bermaksud membeli yang baru, tapi ternyata harganya selangit. Tak sesuai dana yang kami punya,” ucapnya.

Alhasil, hingga saat ini pihaknya hanya bisa berusaha agar kegiatan pengembangan bakat seni tersebut bisa tetap berjalan walau dengan alat seadanya.

“Yang penting anak tetap bisa belajar memukul instrumen karawitan. Daripada tidak belajar sama sekali. Dengan begitu, pengetahuan mereka perihal kesenian karawitan bisa tetap terjaga,” tandasnya. (sohibun niam)

Membumikan Sastra dengan Musikalisasi Puisi

Written By Harian Semarang on Sabtu, 27 November 2010 | 03.17

Puncak acara bulan bahasa di SMAN 2 Semarang dimeriahkan dengan lomba musikalisasi dan dramatisasi puisi. Berhasil membumikan bahasa dan sastra di kalangan siswa.

SEBUAH lagu yang menggambarkan makmur dan tentramnya kota Jogja menjadi pengantar pertunjukan. Tampil di salah satu sudut panggung, seorang penampil dengan puisinya bercerita aktivitas dan kesibukan masyarakat Jogja.

Seiring dengan itu, kondisi dan suasana gemah ripah-loh jinawi, penuh senyum, dan keramahtamahan masyarakat Jogja yang digambarkan dalam puisi bertambah kental melalui adegan yang ditampilkan aktor pada satu sudut panggung lainnya.

Cerita akhirnya sampai saat meletusnya Gunung Merapi. Warga yang semula tentram, berlarian tunggang langgang akibat terjangan wedus gembel yang keluar dari miniatur gunung di sudut pojok panggung bagian belakang. Di atas panggung itu, seketika wajah Jogja berubah jadi muram, dipenuhi nestapa.

Semangatlah wahai kawan/Cobaan ini pasti akan berakhir/Berganti dengan kebahagiaan//Mari kita lewati bersama rintangan ini, kawan/ Karena, ku yakin kita bisa//Demikian teriak salah seorang pemain membangkitkan mereka yang jatuh terkulai. Hingga akhirnya, masyarakat jogja yang menjadi korban bencana berhasil bangkit.

Itulah pertunjukan dramatisasimusikalisasi puisi Pray of Jogja yang cukup apik dari siswa kelas XII IPA 7 dalam Lomba Dramatisasi dan Musikalisasi Puisi yang digelar SMAN 2 Semarang.

Selain gampang dicerna penonton, pemilihan diksi juga sederhana dan lugas. Pertunjukan besutan sutradara Brenda Batista itu juga menyentuh dan enak dinikmati karena tambahan komposisi nyanyian bergaya cello di
beberapa sela adegan.

Hanya saja sisi gestur dan dramaturgi belum tergarap betul sehingga terkesan asal-asalan. Seperti halnya penampilan peserta lain yang tampil di hari pertama ajang lomba yang merupakan puncak peringatan bulan bahasa keluarga besar SMAN 2 Semarang itu.

Gebrakan Spektakuler
Lomba diadakan dua hari, Sabtu– Minggu (20–21/11). Lomba yang dinilai tiga juri, yakni Alex Purwo (penulis lakon dan teaterawan), Gunawan Budi Susanto (penulis dan budayawan), serta Daniel Hakiki (pengamat dan pegiat Seni) tersebut diikuti 36 tim yang merupakan perwakilan dari semua kelas di SMAN 2 Semarang.

Ida Yunara salah satu Guru Bahasa Indonesia yang didapuk sebagai koordinator kegiatan mengatakan, setiap kelas, dari kelas IX hingga kelas XII, diwajibkan mengikuti lomba ini dengan menampilkan satu pertunjukan dramatisasi-musikalisasi puisi. Tujuannya, agar semua siswa lebih memahami dan menghayati ilmu bahasa dan sastra, termasuk cara mengapresiasinya.

“Selain sebagai peringatan bulan bahasa, lomba juga kami gunakan sebagai media pembelajaran. Di antaranya untuk memperdalam keilmuan bahasa dan sastra,” jelasnya saat ditemui usai acara pada gelaran hari pertama, Sabtu (20/11) kemarin.

Tak ingin asal-asalan dan berkesan euforia belaka, teknis pelaksanaan kegiatan sudah dipersiapkan jauhjauh hari. Siswa diberi kebebasan menentukan tema dan bentuk penggarapannya sendiri. Hal ini dilakukan agar jiwa kreatif mereka terasah.

“Dengan begitu siswa juga bisa berlatih kerja secara profesional kalau ingin tampil baik. Tentunya mereka harus bekerja sama sebagai satu tim yang solid, karena sebuah pertunjukan membutuhkan banyak elemen untuk disajikan,” imbuhnya.

Sementara, anggota dewan juri Daniel Hakiki menilai, kegiatan lomba dramatisasi-musikalisasi puisi yang digelar SMAN 2 Semarang termasuk gerakan spektakuler di dunia pendidikan. Karena hampir tak ada sekolah yang benar-benar serius menggarap bahasa dan sastra. Apalagi melibatkan seluruh siswa.

“Jika dipandang sebagai sebuah gerakan, menurut saya yang dilakukan SMAN 2 Semarang bisa dikatakan sebagai salah satu gebrakan spektakuler. Karena misinya ingin benarbenar membumikan bahasa dan sastra. Mudah-mudahan terus berkelanjutan,” tukas Daniel. (sohibun niam/nji)

Kasek Rogoh Kocek Pribadi Rp 30 Juta

Untuk memperbaiki atap kelas yang rusak, Sarnyoto merelakan uang pribadinya Rp 30 juta digunakan. Teladan seorang kepala sekolah yang patut diapresiasi.

KEINGINAN untuk segera mengantongi status Sekolah Standar Nasional (SSN) terpaksa harus dipendam dulu. Hal itu karena pembangunan beberapa ruang untuk memenuhi standar SSN masih terkendala penyelesaiannya. Itulah yang dialami SDN Wonotingal 01-04.

Kepala sekolah SDN Wonotingal 02-03, Saryoto mengatakan, hingga kini sekolah yang terletak di Kecamatan
Candisari tersebut masih berharap bantuan dari pemerintah untuk segera menyelesaikan pembangunan. “Kami sudah meminta bantuan sejak 2008. Harapannya bisa turun Rp 170 juta namun hanya diturunkan Rp 120 juta,” jelasnya saat ditemui Harsem, Sabtu (20/11).

Dikatakan, ruangan yang belum ada antara lain laboratorium komputer, bahasa, IPA dan matematika. “Kami
masih kekurangan sekitar empat ruang. Belum lagi, sebagian gedung kelas atapnya sudah rusak,” paparnya.

Dia juga mengatakan, bantuan Rp 120 juta tak ada kelanjutannya. “Harapan kami ada kelanjutan Rp 50 juta, tapi tak ada. Bahkan pada 2009 dan 2010 kami tidak mendapatkan bantuan sama sekali,” imbuhnya.

Sementara, uang Rp 120 juta yang diperoleh 2008 telah digunakan untuk membiayai bimbingan teknologi (bintek) yang dilakukan guru serta menambah koleksi buku perpustakaan dan alat peraga. “Kami sudah menanyakan hal tersebut langsung kepada Dinas Pendidikan Kota namun hingga saat belum mendapat penjelasan,” lanjutnya.

Diakui Saryoto, sekolah sering kekurangan dana untuk operasional mengikuti perlombaan. Sehingga sekolah terpaksa meminjam dana dari koperasi. “Terutama untuk kebutuhan transpor guru pendamping lomba, antara lain pada Popda serta Kelompok Kerja Guru (KKG ),” terangnya.

Hingga saat ini pihaknya kerap bingung harus mencari dana. “Karena kalau mengandalkan orangtua tidak mungkin, sekolah dilarang menarik dana dari orangtua,” jelasnya.

Bahkan dia bercerita, pada 2008 lalu sekolah memperbaiki atap bangunan untuk dua kelas. Saat itu sekolah masih diperbolehkan menarik iuran dari orangtua.

Namun di tengah jalan saat pembangunan masih dalam proses, muncul kebijakan pemerintah untuk menghentikan semua iuran orangtua siswa termasuk BP3.

“Akhirnya untuk menutup biaya perbaikan atap saya menggunakan uang pribadi sebanyak Rp 30 juta. Saat itu atap yang rusak sekitar empat kelas,” urainya.

Meski begitu, Saryoto tak pernah menyesal meski uang tersebut tidak kembali. “Saya justru bangga telah melakukan sesuatu untuk sekolah.

Selain itu saya yakin jika saya melakukan hal yang baik untuk sekolah, suatu saat ketika membutuhkan bantuan dari orang lain, saya pasti juga akan mendapatkannya,” pungkasnya. (awi/nji)

Bentuk Karakter Anak Sejak Dini

MEMBENTUK karakter anak sejak dini menjadi salah satu tujuan TKIT Permata Hati. Hal itu disampaikan Kepala Sekolah Hindarwati.

Dikatakan, untuk membentuk karakter dan mental, salah satunya dengan melatih kedisiplinan di Sekolah. “Baik disiplin saat masuk sekolah maupun mengerjakan tugas yang diberikan guru,” jelasnya.

Selain itu, belajar bertanggung jawab, peduli lingkungan, saling menyayangi antara teman dan guru, serta sopan santun. “Kami ingin siswa sopan kepada siapa pun yang ditemui. Ramah tamah dan sapa juga harus dilakukan tanpa menunggu perintah guru,” tuturnya.

Pendidikan karakter, dijelaskan Hindarwati sangat berpengaruh saat siswa melanjutkan pendidikan di tingkat lebih tinggi. “Siswa harus siap melanjutkan pendidikan dengan karakter yang telah terbentuk pada diri masing-masing,” imbuhnya.

Untuk itu, rasa percaya diri sangat dibutuhkan. “Siswa harus rasa percaya diri untuk menghadapi lingkungan baru,” lanjutnya.

Tak dipungkiri, pihaknya tak hanya meningkatkan pendidikan di bidang akademis. “Namun ingin membentuk
mental yang baik. Ada beberapa kegiatan sosial yang melibatkan siswa. Antara lain setiap tahun kami melakukan kunjungan dan memberi bantuan ke panti jompo dan panti asuhan,” urainya.

Dikatakan Hindarwati, dengan memberikan bantuan secara langsung, rasa peduli siswa kepada sesama menjadi semakin nyata. “Kami ingin mereka bersentuhan langsung dengan pihak yang membutuhkan bantuan. Lebih baik lagi jika mau melakukan komunikasi dengan mereka,” jelasnya.

Sumbang Kurban
Pada Hari Raya Idul Adha tahun ini, siswa menyumbangkan bantuan uang untuk dibelikan kambing. “Daging
kurban diberikan langsung oleh anakanak kepada orang yang membutuhkan.

Antara lain pengemis dan tukang becak di sekitar sekolah,” paparnya. Sekolah di Kecamatan Ngaliyan ini juga sarat dengan prestasi. Baik yang diperoleh guru, siswa, maupun sekolah.

“Kami telah memenangkan sejumlah kejuaraan, antara lain juara II guru teladan tingkat Kota Semarang dan juara II guru mendongeng dengan gambar tingkat kota,” jelasnya.

Prestasi lain, masuk lima besar prestasi guru tingkat nasional serta menjadi TK Inti dengan akreditasi A. Juga juara I lomba tari siswa tingkat kota, juara II drumband siswa tingkat kecamatan, juara I lomba mewarnai siswa tingkat kota, dan juara II lomba alat musik angklung tingkat kota.

Meski demikian, Hindarwati tak memungkiri kendala. “Mereka masih sangat belia, butuh pendekatan psikologis tertentu,” urainya.

Selain itu, ikatan batin antara guru dengan siswa juga sangat dibutuhkan. “Kami melakukan pendekatan bukan sebagai guru namun sebagai teman. Dengan begitu siswa lebih bisa mengakrabkan diri,” tandasnya. (awi/nji)

SDN Tambakaji 04 Sumbang Korban Merapi

BENCANA letusan Gunung Merapi yang meluluhlantakkan beberapa wilayah di sekitar lereng serta menelan banyak korban jiwa mengundang keprihatinan banyak pihak.

Satu di antaranya SDN Tambakaji 04 yang terpanggil melakukan aksi peduli sosial dengan mengirimkan berbagai macam barang kebutuhan sehari-hari.

Kepala Sekolah SDN Tambakaji 04, Sunarto mengatakan aksi peduli sosial ini merupakan bentuk empati siswa. “Barangbarang yang kami salurkan merupakan hasil penggalangan dana yang dilakukan siswa.

Secara sukarela, mereka menyisihkan uang sakunya, dan dari uang yang terkumpul kami salurkan seluruhnya berbentuk barang. Agar sesampainya di tempat pengungsian bisa langsung dimanfaatkan,” terang Sunarto di sela persiapan pengiriman bantuan, Jum’at (19/11) kemarin.

Dijelaskan, total dana yang berhasil dikumpulkan dari iuran siswa mencapai Rp 4.451.000. Dengan rincian kelas I sebesar Rp. 653.500, kelas II Rp 510.000, kelas III Rp 1.140.000, kelas IV Rp 787.000, kelas V Rp 904.000, dan kelas VI Rp 456.500.

Dana yang terkumpul kemudian dibelikan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari untuk korban yang masih berada di pengungsin. Yakni berupa susu dan makanan bayi, sabun/ deterjen, mie instan, obat-obatan,
pakaian dalam, pembalut, serta buku bacaan anak-anak. Selain barang yang dibeli dari iuran siswa itu, disertakan pula sumbangan wali murid berupa pakaian layak pakai dan pembalut.

Bantuan diantarkan langsung ke posko pengungsian di SMA Marsudirini Muntilan Magelang dan Gudang Dolog Mertoyudan Magelang. “Kami langsung mengantarkan bantuan ke lokasi pengungsian agar sesegera mungkin bisa dimanfaatkan. Mudah-mudahan bantuan tak seberapa ini bisa membantu meringankan beban korban musibah letusan Gunung Merapi,” imbuhnya .

Ditambahkan, beberapa pekan sebelumnya, aksi sosial peduli korban Gunung Merapi juga dilakukan jajaran guru dan karyawan SDN Tambakaji 04. Guru menyalurkan sumbangan melalui Pemerintah Kota Semarang. Total sumbangan dari guru sebesar Rp 1.690.000. (sna/nji)

Pembelajaran Model Sentra

Oleh: Eni Anton Siswartoro

SALAH satu pendidikan dasar anak sebelum secara formal menempuh pendidikan sekolah dasar adalah taman kanak-kanak. Baik yang di bawah naungan pembinaan Dinas Pendidikan berupa taman kanak-kanak maupun di bawah naungan Kementerian Agama berupa rodhatul athfal (RA) dan miftahul huda (MH).

Di mana dalam perkembangannya TK/RA/MH menjamur di setiap wilayah. Jadi tak heran di kelurahan ada dua atau lebih TK/ RA/MH.

Yang menjadi persoalan sekarang adalah populasinya yang berlebih. Sampai banyak yang kekurangan murid. Ini merupakan tantangan pengelola, kepala sekolah dan para guru untuk bersama-sama mewujudkan TK/RA yang menjadi favorit orangtua murid untuk menyekolahkan anaknya.

Salah satu program yang sedang dikembangkan adalah sistem pendidikan sentra. D imana dalam pembelajarannya murid-murid dibagi menjadi beberapa kegiatan. Yakni kesenian yang dibagi menjadi seni lukis, seni tari, dan seni rupa. Juga ada sentra kesehatan, perpustakaan baca, ketrampilan, agama, APE, pendidikan umum dan berbagai macam sentra atau kegiatan yang bisa dikembangkan pengelola.

Namun kelemahan dalam program ini adalah perlunya ruangan yang cukup banyak karena harus dibagi per sentra atau kegiatan. Juga membutuhkan tenaga pengajar yang cukup banyak. Tetapi hal ini tidak mutlak karena hal tersebut dapat disiasati dengan mengoptimalkan ruangan dan guru yang ada. sehingga setelah berkembang dapat menambah ruangan dan pengajar.

Dalam program sentra ini anak-anak diharapkan tidak hanya fokus pada pelajaran umum. Tetapi juga berkembang daya pikir, nalar dan kreativitas. Sehingga anak-anak tidak takut mengemukakan pendapatnya untuk melakukan suatu tindakan.

Karena selama ini sistem yang digunakan lebih banyak searah sehingga anak dibiasakan menerima apa yang diberikan oleh guru. ***

(Penulis adalah Ketua DP Ranting GOPTKI Kecamatan Semarang)

Guru Harus Pandai Mengambil Hati Siswa

SIKAP guru memegang peran penting dalam menentukan siswa akan menyukai pelajaran atau tidak. Untuk itu, menurut praktisi pendidikan Haris Ma’ruf, seorang guru idealnya tidak terlalu idealis mengelola kelas.

Tidak dibenarkan seorang guru beranggapan bahwa seorang siswa harus memiliki pemahaman yang sama dengannya. Apalagi sampai menilai atau bahkan mengecap siswanya bodoh.

“Tugas penting seorang guru adalah mengajarkan ilmu atau pengetahuan kepada anak didiknya. Agar anak didik tersebut jadi tahu atau bertambah tahu tentang sesuatu hal,” ungkap pria yang berprofesi sebagai guru di SMA Sultan Agung 1 serta dosen di Universitas Dian Nuswantoro itu, kemarin (26/11).

Guru ideal adalah guru yang dapat dijadikan sebagai sumber motivasi belajar. Takaran sukses atau tidaknya seorang guru, menurut pria yang pernah lama menjabat sebagai Kepala sekolah SMA Sultan Agung 02 itu, bisa dilihat dari perilaku dan sikap anak didiknya.

Dalam hal ini, kesuksesan seorang guru dapat diketahui dengan mengukur seberapa jauh anak didik yang diajarnya menjadi termotivasi untuk belajar.

Mencari cara agar siswa termotivasi untuk belajar itulah yang harus dilakukan oleh seorang guru. Hal penting yang harus diperhatikan dalam hal ini, menurut Haris, adalah tidak samanya satu individu dengan individu lainnya, karenanya dibutuhkan metode yang berbeda dalam menyikapinya.

“Tingkat kerja otak tiap anak itu berbeda. Ada karakter anak yang lebih cepat menangkap pelajaran dengan cara mendengar dan ada yang lebih cepat dengan cara visual. Ada pula yang merupakan gabungan dari ke duanya. Dari perbedaan itu tentu perlu metode atau cara penanganan berbeda, sesuai karakter masing-masing,”

Jalinan Pertemanan
Menurut pria yang saat ini menjabat sebagai Kepala Litbang Yayasan Badan Waqaf Sultan Agung tersebut, salah satu cara yang paling bisa dilakukan agar siswa termotivasi untuk belajar adalah melalui cara jalinan pertemanan.

Yakni, seorang guru bisa memposisikan diri menjadi teman bagi anak didiknya. Dengan begitu siswa tidak merasa canggung bertanya atau bahkan bisa lebih merasakan senang mengikuti pelajaran.

“Menurut saya, seorang guru tidak akan kehilangan kehormatannya ketika menjadikan siswa sebagai teman baginya. Itu yang saya pahami kemudian saya jalankan selama ini,” imbuh pria kelahiran Jepara yang mengaku suka menikmati seni dari berbagai genre itu.

Bagi Haris, guru ibaratnya adalah seorang musafir yang hijrah ke dunia anak-anak. Di dunia itu, guru harus bisa berlaku baik agar anak-anak senang dan jatuh hati kepadanya.

Setelah hal itu bisa dilakukan, tentunya para siswa tidak akan keberatan atau merasa terpaksa jika diajak hijrah ke dunia guru yang penuh dengan pengetahuan. “Bukannya malah seenaknya, atau bahkan asal beri sanksi jika siswa bersalah,” tandasnya. (sohibun niam/nji)

Boleh Kok Siswa Bersikap Kritis

Agung Barata

SEBAGAI seorang siswa, Agung Barata (16) tentu sangat ingin menjadi pandai dan tahu hal-hal yang belum ia ketahui. Untuk itu, pun merasa dituntut untuk tidak takut atau malu bertanya kepada siapa saja. Termasuk kepada guru yang mengajarnya di kelas. Ia pun berusaha jadi siswa kritis terhadap banyak hal agar bisa jadi pintar.

Namun berbicara soal sikap kritisnya, remaja yang saat bersekolah di SMK Negeri 7 Semarang itu mengaku pernah punya pengalaman tidak mengenakkan dari salah satu guru ketika ia masih duduk di bangku SMP dulu.

“Waktu itu guru memberikan tugas rumah. Kami diminta menjawab soal-soal yang ada di buku LKS. Perintahnya, kami harus mengisi semua soal-soal itu, tidak boleh tidak,” ceritanya kepada Harsem saat ditemui beberapa hari lalu.

Merasa ingin lebih banyak tahu, ia pun melayangkan pertanyaan kepada sang guru.

“Bagaimana kalau ada yang tidak bisa kami kerjakan?” ucapnya mencontohkan pertanyaan yang ia layangkan kepada gurunya waktu itu. Lalu, sang guru berkata “Yang penting diisi,” ucap siswa yang saat ini duduk di kelas I Jurusan Teknik Mesin itu, menirukan jawaban sang guru.

Mendapat jawaban sang guru itu, batin Agung pun sedikit bergolak. Dalam benaknya ia bertanya, daripada menjawab asal-asalan lebih baik tidak mengisi. Lalu saat dilakukan koreksi, guru memarahinya karena ia dianggap tidak patuh. “Saya dihukum menulis kalimat dari soal yang tidak saya isi. Setiap soal harus saya tulis sebanyak 51 kali,” terangnya.

Hingga saat ini, ia tidak tahu kenapa sang guru melakukan hal itu. Jika tujuannya untuk membuatnya siswa patuh kepada guru, kenapa harus dilakukan secara kurang benar.

“Bukankah jika belum tahu jawabannya, mestinya harus dicari tahu. Untuk itu guru harus memberi tahu atau ikhlas menerangkannya. Bukan tetap menyuruh kami menjawab asalasalan,” tandasnya. (sna/nji)

“Guru Boleh Salah, Tapi…”

GURU pernah salah tentu hal lumrah. Namun jika terlampau sering, bisa membuat siswa hilang kepercayaan. Menurut Kepala SMP Negeri 04 Semarang Teguh Waluyo, solusinya guru mesti akrab dengan siswa. “Agar jika melakukan kesalahan, siswa tak takut mengingatkan,” ujarnya.

Menurut Teguh Waluyo, cara penyajian atau pembawaan guru ketika memberikan materi kepada siswa merupakan salah satu faktor penting dari kualitas pelajaran. “Kalau cara penyajian kurang familier, maka secara tak sengaja akan menciptakan jarak antara guru dengan siswa. Oleh karenanya siswa menjadi spaneng atau tegang,” paparnya.

Dijelaskan, kesalahan dalam penyampaian materi tersebut biasanya dialami oleh guru baru. “Mereka masih miskin pengalaman. Namun harus diakui juga bahwa kejadian tersebut bukan hanya dialami oleh guru baru. Namun juga oleh guru senior yang notabene sudah banyak makan asam garam,” paparnya.

Dikatakan, karakter pribadi guru menjadi sebuah faktor penting berhasil atau tidaknya materi tersebut sampai kepada siswa. “Kalau guru cenderung kaku, maka saya rasa pelajaran akan menjadi kurang efektif,” imbuhnya.

Dia juga mengatakan, dari pengalamannya sebagai guru dan kepala sekolah, guru yang disenangi siswanya akan lebih mudah memberikan materi kepada siswa.

“Kalau senang kepada gurunya, otomatis senang pelajarannya. Berarti guru yang bersangkutan telah berhasil menyampaikan materi kepada siswa. Sebaliknya, jika guru cenderung kaku dan tak mau dekat dengan siswa, tak dipungkiri siswa akan malas mengikuti pelajaran yang diampu guru,” paparnya.

Menurutnya, guru yang disenangi siswanya, jika tak sedang di tempat atau mengosongkan pelajaran, siswa tak segan mencarinya. “Namun kalau guru tersebut tak disukai siswa, maka suatu hari ketika berhalangan hadir, siswa akan sorak-sorak bergembira,” terangnya.

Dijelaskan Teguh, akan sangat disayangkan jika guru salah saat mengajar. “Jika ada guru salah konsep dalam mengajar, saya yakin kesalahan itu akan selalu diingat siswa,” urainya.

Untuk itu Teguh berharap guru terus belajar. Karena bagaimana pun, guru adalah jendela ilmu. “Guru harus terus belajar agar semakin mumpuni,” ujarnya.

Dia juga mengingatkan, hubungan antara guru dengan siswa tidak sebatas saat di sekolah. Namun akan semakin baik jika ada hubungan silaturahmi yang terjalin diantara keduanya. (awi/nji)

Bila Guru Salah, Sebaiknya Bagaimana?

Jelas, guru adalah manusia biasa sehingga mereka “berhak” salah dan alpa. Tapi jika mereka salah, bolehkan siswa mengingatkan?

SUARA guru sangat lirih sehingga siswa tak bisa mendengarnya. Akibatnya banyak siswa tak konsentrasi pelajaran. Itulah salah satu “keluhan” Dwi Nur, pelajar SMP di Kota Semarang. Siswa kelas VII SMP Negeri 10 Semarang ini mengatakan, dirinya pernah menjumpai guru yang kurang bagus cara mengajarnya. “Bicaranya pelan banget, jadi kami tak bisa dengar,” kata ditemui Harsem, kemarin.

Dikatakan, dirinya maupun teman lain pernah mengeluhkan hal tersebut kepada guru yang bersangkutan. “Tapi tak digubris. Dia juga tidak merubah suaranya supaya lebih lantang,” imbuhnya.

Begitulah, guru memang bukan makhluk sempurna. Jadi wajar jika mereka memiliki kelemahan. Sayangnya, banyak siswa yang bingung bagaimana mengkomunikasikan. Padahal jika tak diberitahu, mungkin guru tak menyadari kelemahannya.

Seperti yang dialami Dwi Nur. Dia hanya bisa “curhat” dengan sesama teman. “Paling susah ketika dikte. Karena volume pelan sekali, akhirnya kami tidak mencatat sama sekali,” jelasnya.

Ketika ditanya mengapa tak menyampaikan keluhan terhadap guru lain atau kepala sekolah, dia mengaku tak berani melakukan.

“Saya tidak berani protes. Takutnya nanti malah kena marah. Lagi pula protes kami belum tentu direspon. Bagaimana kalau ternyata malah dicuekin,” lanjutnya. Ketakutan Dwi tentu berlebihan. Mereka menduga, kalau mengingatkan guru akan kena marah. Padahal guru justru butuh masukan perihal tata cara mengajar.

Dia juga pernah mengeluh, seorang guru sedang menulis di papan tulis juga tulisannya terlalu cepat, sehingga membingungkan siswa. “Kan akan lebih baik kalau nulis sekaligus menerangkan. Jadi kami akan cepat mengerti dan memahami,” tambahnya. Siswa lain, Melisa mengatakan kerap ragu untuk mengingatkan guru. “Takut dimarahi,” ujarnya, akunya.

Berbesar Hati
Di mata Sabila, tak apa-apa mengingatkan guru jika melakukan kesalahan. Dia mengaku pernah menemui guru yang salah dalam menyampaikan materi. “Maka kami menyampakaian hal itu. Ternyata dia juga langsung menyadari kesalahannya dalam menyampaikan materi,” ujarnya.

Apalagi jika pelajaran yang disampaikan juga sangat penting. “Kalau pelajaran yang disampaikan salah kan akibatnya bisa buruk. Apalagi kalau mata pelajarannya termasuk mata yang diujikan di Ujian Nasional (UN),” terangnya.

Beberapa kali diakui Sabila, dirinya mengetahui guru salah saat mengajar. “beberapa kali kali juga siswa mengingatkan, ternyata nggak apa-apa kok. Mereka selalu berbesar hati untuk memperbaiki kesalahan,” pungkasnya. Nah, kalau begitu, jangan takut “berdebat” dengan guru. (aris wasita widiastuti/nji)

Gerakan Perempuan Menamam Bakau

KERUSAKAN hutan bakau di Jawa Tengah cukup memprihatinkan. Dari sekitar 10 ribu hektar lahan pesisir yang mempunyai hutan mangrove, kini hanya tinggal 30% yang masih bagus. Sisanya 70% mengalami kerusakan parah.

Melihat kerusakan wilayah pesisir, kemarin Dharma Wanita Persatuan (DWP) Provinsi Jateng, DWP Kota, Dinas Kelautan dan Perikanan serta masyarakat Mangunharjo, Mangkang Wetan, melakukan aksi tanam empat ribu bibit mangrove di tambak warga Kampung Ngebruk Kelurahan Mangunharjo Kecamatan Tugu.

Melalui program Gerakan Perempuan Tanam dan Peliharan Pohon Tahun 2010 dengan tema penyelamatan hutan pantai dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir Dharma Wanita Provinsi memberikan bantuan pohon mangrove.

Disampaikan Penasihat Dharma Wanita Persatuan Provinsi Sri Suharti Bibit Waluyo, tanaman mangrove memiliki arti penting bagi masyarakat pesisir. Di antaranya bisa mencegah intrusi atau penyerapan air laut ke dalam air tanah, untuk mencegah abrasi, serta erosi pantai.

“Hutan mangrove sebagai penyaring sampah, sebagai penyubur perairan karena hutan mangrove menghasilkan unsur hara yang bermanfaat bagi vitoplankton. akar mangrove sebagai tempat bertelur dan berlindung berbagai habitat udang dan ikan, dan buahnya juga bisa diolah jadi bahan makanan,” bebernya.

Dikatakan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah Subagyo, kerusakan hutan mangrove terjadi merata di hampir seluruh kabupaten/kota. Namun yang terparah terjadi di daerah Cilacap.

“Penyebabnya dominan kerusakan mangrove karena ulah manusia. Banyak yang belum paham manfaat hutan mangrove sehingga mereka menebanginya untuk dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan daunnya untuk pakan ternak,” tuturnya.

Untuk merehabilitasi kerusakan ini, Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah pada tahun 2010 setidaknya telah mengalokasikan 83 ribu bibit yang disebar di seluruh kabupaten dan kota.

“Kami terus melakukan upaya agar wilayah pesisir tidak mengalami abrasi. Untuk tahun 2011 kita akan tingkatkan penanaman mangrove di wilayah pesisir. Agar masyarakat pesisir terhindari masalah abrasi pantai. Dalam kegiatan penanaman mangrove kami juga melibatkan anakanak, dari SD sampai universitas,” tuturnya.

Sri Suharti tak lupa mengingatkan agar masyarakat dapat ikut menjaga dan melestarikan hutan mangrove. Mengingat manfaatnya cukup banyak. Selain sebagai penahan abrasi, buah mangrove juga dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan.

Diharapkan gerakan perempuan menanam mangrove ini mencegah abrasi yang kini semakin mengkhawatirkan. (lissa febrina)

Kesemat yang Penuh Semangat

BETAPA berharga sebuah filosofi. setidaknya bagi sosok-sosok mahasiswa idealis. Sekadar nama pun, mereka “pasang harga mati”.

“Ingat lho, jangan sampai salah tulis. Nama kelompok kami adalah KeSEMaT,” ujar Radich Arief Nugroho pegiat Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (Kesemat Undip) menjelaskan nama yang campur aduk huruf kapital dengan kecil.

Indonesia memang butuh sosoksosok mahasiswa “keras kepala”. Sebab cuma merekalah yang terus konsisten
memperjuangkan kelestarian lingkungan. Seperti komunitas ini, yang tanpa terasa sepuluh tahun berhasil “menyulap” hampir tujuh hektar pantai gundul di Teluk Awur Jepara menjadi hutan mangrove hijau. Bukan sulap tentunya, karena upaya menghijaukan pantai itu mesti dilakoni dengan penuh cucuran keringat, darah, dan air mata. “Kesemat berdiri sejak 2001. Jika sampai sekarang tetap eksis, merupakan bukti konsistensi para pegiatnya,” ujar Aris Priyono, pendiri Kesemat.

Aris kini mendirikan IKAMat (Ikatan Alumni Kesemat). Anggotanya mantan pegiat yang “terpaksa” keluar dari Kesemat lantaran lulus kuliah. Yulia Ulfah, Menteri Sekretaris Kesemat mengatakan organisasi bergerak di bidang pelestarian mangrove. “Orang awam biasanya mengatakan pohon bakau. Sebenarnya, bakau salah satu spesies mangrove yang jumlahnya ratusan,” ujar mahasiswa Ilmu Kelautan yang kini menginjak semester empat ini.

Awalnya, tujuan pendirian kelompok ini “sekadar” menyelamatkan kampus Undip di Teluk Awur dari hantaman abrasi pantai. “Kemudian kami berinisiatif menanami kawasan pantai dekat kampus dengan mangrove,” ujarnya.

Kini setelah sepuluh tahun berkiprah, obyek kegiatan meluas. Bukan hanya Jepara, tetapi juga merambah di tempat-tempat lain. “Untuk sementara, fokus masih sepanjang pantai dari Kendal hingga Rembang,” ujar mahasiswa asal Tangerang ini.

Banyak Manfaat
Ada banyak kegiatan, di antaranya mangrove education (kampanye mangrove), cultivation dan nurserry (pembibitan dan perawatan), hingga penanaman. Menurut Yulia, mangrove memiliki banyak manfaat. “Dari sisi ekosistem, tanaman ini mencegah abrasi pantai. Saat tsunami Aceh, banyak korban jiwa karena pantai tak
dilindungi mangrove. Tetapi di Papua, tsunami bisa diredam oleh tanaman ini,” jelasnya.

Selain itu, buah mangrove yang berbentuk mirip mangga juga bisa diolah menjadi makanan seperti kue dan coklat. “Kemudian, batangnya juga bisa digunakan sebagai bahan baku sabun,” jelasnya saat ditemui di sekretariat Jalan Ngesrep Barat V/35.

Menurutnya, ada ratusan spesies mangrove di seluruh dunia. Di Jawa tengah, banyak dikenal jenis rhizophora (bakau). Setiap spesies hidup sesuai habitatnya masing-masing. “Tetapi ada kesamaan, mayoritas tumbuh secara lambat,” ujarnya.

Dalam setahun, sebatang mangrove hanya mampu tumbuh sekitar satu tahun. “Jadi harus sabar karena tumbuhnya lama,” jelasnya. Tetapi tumbuhan ini bisa hidup hingga puluhan tahun. “Di Papua, ada hutan mangrove yang tingginya mencapai 30 meter. Diduga, usianya sekitar 30 tahunan,” jelasnya.

Anggota Kesemat hanya berkisar puluhan. Namun jaringan dan volunteer-nya ribuan. Mereka terus bersemangat menanam mangrove. (panji joko satrio)

Go Green Jadi Gaya Hidup

Dahulu, gerakan penghijauan kerap hanya dijadikan seremoni. Dianggap hanya pemanis citra agar pejabat diangggap pecinta lingkungan. Kini go green menjadi gaya hidup banyak orang.

TAK peduli keringat yang terus menetes dari keningnya, Titis Wulansari, mahasiswa PGSD Unnes bersemangat menancapkan bibit pohon ke lubang yang telah digali. Sudah belasan bibit berhasil ia tancapkan. Sesekali, ia mengomando rekannya untuk menanam di lubang lain.

Siang itu, sekitar 450 orang terdiri atas mahasiswa, pelajar, dan TNI bersemangat menanam aneka pohon di Lapangan Pusdik Penerbad Jalan Ahmad Yani Semarang. Sekitar dua ribuan benih, di antaranya pronojoyo, sawo kecik, jati, jabon (jati kebon), mahoni, dan ketapang di tanam di area militer dekat Bandara Ahmad Yani itu.

“Wah, kaget juga. Saya kira gaya hidup mahasiswa cuma jeng-jeng atau jalan-jalan di mal. Ternyata banyak yang suka menanam pohon juga,” ujar gadis asal Temanggung yang baru menginjak semester satu itu.

Dulu, gerakan menanam sejuta pohon ditanggapi dengan olok-olok. Dianggap sebagai hiperbola atau bahkan sekadar proyek menghabiskan anggaran. Nyatanya, kini gerakan menanam pohon tumbuh di manamana.

Di Semarang, beragam komunitas pecinta alam terus tumbuh. Mayoritas berbasis kampus dan sekolah. Bahkan hampir semua sekolah memiliki klub pecinta alam. Kegiatannya tak semata naik gunung, tapi juga menanam pohon.

Di luar itu, komunitas pecinta alam juga tumbuh di birokrasi, instansi, pemuda, dan kaum perempuan.

“Saya melihat gejala, gerakan cinta lingkungan telah menjadi gaya hidup masyarakat,” ujar Rektor Unnes Sudijono Sastroatmodjo. Fenomena itu, menurutnya, sesuatu yang sangat menggembirakan. Di mana-mana, orang bicara penghijauan.

“Lihat saja, banyak seminar atau kegiatan bertema penghijauan. Kegatan penanaman pohon juga marak. Ini bukti masyarakat semakin peduli untuk melestarikan lingkungan,” ujarnya di sela acara Penghijauan Bersama Unnes dengan Penerbad Semarang.

Menurutnya, menjadikan gerakan menanam pohon sebagai gaya hidup merupakan hal yang penting. “Mau menanam sejuta atau sebatang pohon, muaranya sama. Siapa yang akan merawat? Nah, jika mencintai alam sudah menjadi gaya hidup, maka masyarakat tak sekadar menanam, tetapi juga merawat,” jelasnya.

Jangan Sekadar Seremoni Untuk itu, Sudijono menilai keteladanan menjadi hal penting. “Pejabat harus bisa membuktikan bahwa menanam pohon bukan sekadar seremoni. Tetapi sebagai gaya hidup yang bermanfaat. Nanti masyarakat akan ikut merasakan manfaatnya dan tergerak untuk mengikuti,” ujarnya.

Gerakan ini, masih menurutnya, juga untuk menyambut hari menanam nasional. Unnes akan memulai dengan menanam di luar kampus di Kota Semarang. Tahap selanjutnya mensurvei lahan publik yang masing gundul untuk ditanami.

“Kami akan bekerja sama dengan pemerintah daerah maupun dinas kehutanan untuk menghijaukan Semarang,” ujarnya.

Sementara menurut Danpusdik Penerbad Kol CPN Maryanto, tentara juga harus memelopori gerakan mencintai lingkungan. “Sesuai instruksi panglima TNI, tentara harus berada di garis depan dalam gerakan mencintai lingkungan,” ujarnya.

Perintah itu, menurutnya, diterjemahkan dengan kegiatan penghijauan yang kerap dilakukan. “Kami sering melakukan penghijauan. Baik secara mandiri maupun bekerjasama dengan pihak lain,” ujarnya. Manfaat gerakan penghijauan bagi TNI, menurut Maryanto, juga untuk mendekatkan prajurit dengan rakyat.

“Kegiatan penghijauan yang kami lakukan, sekaligus sebagai upaya mendekatkan diri dengan rakyat. Prajurit harus bersatu dengan rakyat, dan kegiatan penghijauan merupakan salah satu implementasinya,” ujarnya.

Penghijauan yang dilakukan di Pusdik Penerbad Semarang melibatkan mahasiswa Unnes, personil Penerbad dan Lanud Ahmad Yani, siswa SMK Penerbad, SMA Negeri 6 Semarang, dan SMP Negeri 3 Semarang. Sudijono mengatakan, semua mahasiswa baru Unnes yang berjumlah sekitar 4.700 orang akan diwajibkan menanam sedikitnya lima pohon per mahasiswa.

“Jadi tahun ini saja akan ditanam sedikitnya 23.500 bibit pohon. Kegiatan ini juga dimaksudkan mendorong gerakan menanam pohon di kalangan mahasiswa,” ujarnya. (panji joko satrio)

Sarat Prestasi meski Belum SSN

Written By Harian Semarang on Jumat, 26 November 2010 | 22.17

MESKI belum berstatus SSN, SDN Wonotingal 01-04 sudah sarat prestasi. Hal itu diungkapkan Kepala SDN Wonotingal 02-03, Saryoto. Dijelaskannya, banyaknya prestasi karena sekolah menerapkan sistem yang lain dari sekolah lain. “Untuk lomba bidang akademik maupun non akademik, kami melakukan pembibitan ketika siswa masih duduk di kelas I,” jelasnya.

Dikatakan, siswa yang memiliki minat dan bakat langsung dididik sekolah. “Kami melakukan bimbingan jika memang siswa memiliki bakat dan minat yang besar,” imbuhnya.

Saryoto mengatakan sejak kelas I sekolah sudah memberikan kebebasan untuk memilih kegiatan ekstrakurikuler. “Kegiatan ekstrakurikuler yang boleh diikuti siswa sejak kelas I antara lain tari dan karate,” lanjutnya.

Tak ada batasan kelas bagi peserta lomba. “Meskipun masih di kelas bawah, kalau memang sudah mampu diikutsertakan lomba, maka berhak mewakili sekolah,” terangnya.

Sedangkan untuk kegiatan ekstrakurikuler yang baru boleh diikuti oleh siswa kelas III adalah pramuka. “Pramuka juga sering mendapatkan prestasi, baik itu tingkat siaga maupun penggalang,” terangnya.

Setiap tahun sekolah hampir selalu mendapatkan piala sekitar tiga sampai empat buah. “Piala yang berhasil kami peroleh antara lain juara I siswa berprestasi tingkat provinsi, juara II karate tingkat kota, juara III melukis putri tingkat karesidenan, juara II melukis tingkat Kota, serta juara I lomba pesta siaga tingkat kecamatan,” paparnya.

Untuk mengajar eskul, sekolah memanggil pihak luar. “Kami memilih instruktur yang ahli, jadi tidak mau memaksakan pengajar internal,” kata dia.

Dikatakan Saryoto, sekolah hanya ingin mewadahi kreativitas siswa. “Kami tidak ingin membatasi, kami sangat mendukung mereka melalui eskul,” pungkasnya. (awi/nji)

Adakan Kelas Bilingual,Sediakan Internet Gratis

SMPN 5 Semarang

Ada “menu” komplet di SMPN 5 Semarang. Selain kelas dwibahasa, juga disediakan hotspot area gratis.


TAK ingin setengah-setengah dalam penerapan sekolah dwibahasa, SMPN 5 Semarang mengharuskan guru mengikuti kursus Bahasa Inggris yang dibiayai Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Hasilnya, guru semakin mahir mengajar di kelas menggunakan pengantar bahasa Inggris. Ini menjadi salah satu keunggulan sekolah yang terletak di Kecamatan Candisari ini. Kepala SMPN 5 Suharto mengatakan persiapan RSBI sudah dilakukan sejak 2004.

“Untuk melancarkan persiapan status RSBI, kami melakukan kerjasama dengan Universitas Negeri Semarang dan lembaga pendidikan Bahasa Asing LIA,” jelasnya saat ditemui Harsem di ruang kerjanya, di Jalan Sultan Agung kemarin.

Selanjutnya, guru diharuskan mengikuti kursus bahasa Inggris dan kursus dalam mengoperasikan komputer serta internet. “Guru sekolah RSBI memang diwajibkan mampu mengoperasikan komputer, menguasai internet, serta mahir berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris,” paparnya.

Tak semua kelas dwibahasa. Meski demikian, guru yang mengajar di kelas reguler tetap diberi pelatihan bahasa Inggris meski tak seintensif guru kelas dwibahasa.

“Untuk guru di kelas non-RSBI atau nondwibahasa, mereka cukup diperkenalkan bahasa Inggris. Namun untuk guru kelas dwibahasa, mereka diwajibkan menguasai bahasa Inggris,” jelasnya.

Semua rombel di kelas VII dan VIII sudah dwibahasa. Kelas VII memiliki delapan rombel, kelas VIII sebanyak sembilan rombel. Adapun kelas IX, baru dua rombel yang dwibahasa sedangkan sisanya 8 rombel kelas reguler.

Belum Optimal
Status RSBI diperoleh sejak 2008. Dia mengakui konsep dwibahasa belum berjalan optimal. “Beberapa mata pelajaran sudah menggunakan program dwibahasa.

Di antaranya matematika, IPA, dan TIK (teknologi informasi dan komunikasi). Kalau matematika dan IPA persentasenya 70% menggunakan Bahasa Inggris. Sementara TIK, persentase masih 50%,” terangnya.

Mengenai penguasaan Bahasa Inggris, diakui oleh Suharto di SMPN 5 memang belum optimal. “Setiap Kamis dan Jumat kami menggelar jam tambahan untuk penguatan bahasa Inggris. Kamis bagi siswa kelas VII, sedangkan Jumat digunakan oleh kelas VIII. Durasi kegiatan dua jam,” jelasnya.

Selain itu, dikatakan Suharto, kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan Bahasa Inggris justru lebih baik dari guru. “Karena kebanyakan dari mereka masih mengikuti kursus Bahasa Inggris di luar sekolah. Kami akui itu sangat membantu sekolah,” kata dia.

Sementara, sekolah juga menerapkan English Day. “Untuk English Day hingga saat ini masih dalam taraf sosialisasi, Jadi belum berjalan secara maksimal, paling baru sebulan sekali,” imbuhnya.

Dijelaskan Suharto, sistem pembelajaran sekolah memanfaatkan teknologi informasi (TI). “Di setiap kelas kami memfasilitasi LCD, namun khusus untuk kelas IX di setiap kelas disediakan satu unit komputer untuk proses KBM,” lanjutnya.

Untuk fasilitas hotspot, sekolah juga sudah menyediakannya di hampir setiap sudut sekolah. “Kami memang ingin memfasilitasi para siswa yang ingin mencari tambahan bahan pelajaran melalui internet, khususnya bagi siswa yang membawa laptop. Sedangkan yang tidak memiliki laptop, kami menyediakan beberapa unit komputer di ruang perpustakaan,” bebernya.

Meski begitu, ada beberapa kendala yang dihadapi sekolah. Antara lain banyak guru yang akan memasuki masa pensiun. “Banyak guru yang akan memasuki masa pensiun. Alhasil, kurang optimal dalam penguasaan bahasa Inggris. Oleh karenanya solusi yang kami lakukan adalah meminta bantuan Unnes untuk melakukan pendampingan terhadap guru terkait,” pungkasnya. (aris wasita widiastuti)

Fisika Bukan Sekadar “Apa Ini Apa Itu”

PELAJARAN fisika tak boleh berhenti pada “apa ini apa itu”, tetapi harus masuk ke permasalahan mengapa, bagaimana, dan apa implikasinya. Hal itu ditandaskan Prof Nathan Hindarto pada pengukuhan guru besar, kemarin di auditorium kampus Sekaran.

Di hadapan Senat Universitas, civitas akademika, tenaga administrasi, dan tamu undangan lainnya, guru besar dalam bidang fisika modern ini menyampaikan pidato pengukuhan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Fisika Modern.

Setiap pembelajaran di sekolah, menurutnya, dapat menjadi pintu masuk ke pendidikan karakter melalui pengungkapan pesan moral dan keteladanan.

“Sifat konsep dan fenomena fisika modern yang jauh dari pengalaman empiris, menjadikan pembelajaran ini penuh dengan penalaran dan diskusi. Justru melalui diskusi inilah, kita bisa masuk ke dalam pendidikan karakter,” katanya.

Lebih lanjut, Nathan mengungkapkan, terdapat beberapa pesan moral yang bisa didapat dari pembelajaran fisika modern. Pesan moral itu antara lain religiusitas, jujur dan bertanggung jawab, keteladanan, serta terbuka dan demokratis.

Dia, yang mengaku selalu diingatkan oleh ibunya almarhum agar aja dumeh, sabar, dan ingat bahwa sing becik ketitik sing ala ketara itu, juga mengatakan bahwa salah satu pembelajaran fisika adalah memahami, mengagumi kebesaran dan kekuasaan Tuhan melalui keteraturan di alam semesta.

“Namun tak jarang, di sekolah, guru mengatakan bahwa bendabenda jatuh ke bawah karena mengikuti hukum Newton. O, andaikan Newton tidak membuat hukum tentu benda akan jatuh ke mana-mana,” kata dosen Jurusan Fisika FMIPA Unnes ini berseloroh.

Karena itu, lelaki kelahiran Grobogan 13 Juni 1952 ini mengingatkan agar jangan sampai timbul anggapan pada siswa bahwa para fisikawan mengatur alam semesta ini dengan hukumhukumnya. Bahkan beranggapan agama dan sains bertentangan. (nji)

Safety Riding Perlu Dikurikulumkan

Tingginya angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya perlu diantisipasi dengan memasukkan pelajaran safety riding (keselamatan berkendara) di kurikulum sekolah, utamanya SMA.

T Supriyadi, psikolog dan pengamat kepolisian dari Kelompok Studi Psikologi Terapan Jawa Tengah berharap Diknas memasukkan safety riding ke kurikulum pendidikan nasional. Ia yakin, jika semua pelajar paham etika berkendaraan, peristiwa kecelakaan di jalan raya bisa ditekan.

“Dari data yang ada, jumlah terbesar yang mengalami kecelakaan adalah pengendara berusia remaja,” ungkapnya pada diskusi Safety Riding di Kalangan Pelajar dalam Menekan Kecelakaan Lalulintas yang digelar Lembaga Kantor Berita Nasional Antara Jateng, kemarin.

Menurut dia, pendidikan keselamatan berkendara sangat penting terutama di kalangan pemuda dan remaja. “Sejauh ini peristiwa kecelakaan masih tinggi dan ribuan nyawa harus melayang,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, dari data yang ada di Jateng, dalam satu bulan rata-rata 110 orang meninggal dunia kecelakaan. “Ini persoalan serius. Korban meninggal karena kecelakaan lebih banyak daripada korban letusan Gunung Merapi atau tsunami di Mentawai,” tegasnya.

Pembicara lain, Kasubdit Dikyasa Dirlantas Poda Jateng AKBP Biman MS mengatakan, jumlah kecelakaan di Jawa Tengah memang sangat tinggi, meskipun dalam tiga tahun terakhir mengalami penurunan.

Cenderung Meningkat Pada semester pertama tahun 2010 ini, sudah terjadi sebanyak 4.438 kejadian dengan korban meninggal dunia sebanyak 603 orang dan luka berat 719. “Merujuk data tahun 2009, setiap hari ratarata terjadi 21 kejadian kecelakaan dengan korban meninggal dunia rata-rata 3 orang/hari,” terangnya.

Dia juga menyayangkan sikap pemilik kendaraan yang tidak menyadari betapa pentingnya safety riding. Itu terbukti masih banyak pengedara kendaraan yang ugalugalan serta tidak mau mematuhi rambu-rambu lalulintas.

“Sudah tahu pengendara motor wajib pakai helm, tapi masih banyak yang tidak pakai. Padahal, itu bertujuan untuk keamanan dan keselamatan bersama,” paparnya.

Kepala Dishubkominfo Kota Semarang Gurun Wicaksono pada kesempatan itu meminta pengendara kendaraan bermotor selalu menaati rambu-rambu lalulintas di jalan raya. Dengan taat rambu-rambu lalulintas, angka kecelakaan bisa dikurangi. (bup/nji)

Jadikan Sekolah sebagai “Rumah Belajar”

KARENA situasi rumah siswa kurang kondusif, sekolah memerbolehkan siswa belajar di sekolah saat jam sekolah sudahusai. Itulah yang terjadi di SD Negeri Miroto 01-03 Semarang. Istilahnya, sebagai “rumah belajar”.

Kepala Sekolah Siti Nurohmah mengatakan, mayoritas siswa berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. “Kebanyakan orangtua mereka berprofesi sebagai buruh. Hal itu berpengaruh pada pendidikan anak,” jelasnya saat ditemui Harsem di ruang kerjanya, di Jalan Seteran Utara 17 Semarang, kemarin.

Dijelaskan, lemahnya prestasi akademis siswa merupakan akibat kurangnya perhatian orangtua. “Karena sibuk dengan pekerjaan, orangtua menjadi kurang perhatian terhadap perkembangan prestasi anaknya,” ujarnya.

Selain itu tingkat pendidikan orangtua yang tergolong rendah juga menjadi salah satu penyebab. “Mereka cenderung tak bisa mengikuti pelajaran sang anak. Oleh karenanya, mereka memilih bersikap pasif,” imbuhnya.

Diakuinya, pendekatan sering dilakukan sekolah kepada orangtua siswa. “Mereka kami beri pengertian agar memberi dukungan dengan menciptakan situasi yang nyaman bagi anak. Agar mereka bisa konsentrasi saat belajar di rumah. Ada orangtua yang memerhatikan, ada juga yang mengabaikan,” paparnya.

Selain memberi kesempatan bagi siswa untuk belajar di rumah kala jam pelajaran sekolah telah usai, sekolah juga menambah jam pelajaran. “Tambahan jam pelajaran untuk pengayaan dan perbaikan,” kata dia.

Jam tambahan diberikan sejak siswa duduk di kelas I. “Untuk siswa kelas I hingga IV, jam tambahan diberikan seminggu dua kali. Sementara untuk kelas V dan VI, empat kali setiap minggu,” paparnya.

Untuk kelas V dan VI, siswa diberi tambahan jam pelajaran untuk persiapan Ujian Nasional. Jam tambahan untuk siswa kurang pandai bersifat perbaikan.

“Sedangkan untuk siswa pandai bersifat pengayaan. Sekaligus untuk pembibitan dan persiapan siswa berprestasi. Sedangkan bagi siswa yang prestasinya biasa-biasa saja, kami memang lebih memercayakan mereka dibimbing orangtua di rumah,” urainya.

Sementara itu, untuk peningkatan prestasi sekolah, Siti mengaku memiliki hubungan kerjasama dengan pihak luar. “Kami menjalin kerjasama dengan Unnes. Mereka memberi penyuluhan bagi anak yang kurang berprestasi,” imbuhnya.

Sedangkan sebagai salah satu motivasi agar siswa rajin belajar, sekolah juga menjalin kerjasama dengan pihak luar dalam pengadaan beasiswa.

“Untuk beasiswa ini kami memiliki kerjasama dengan Yayasan Yatim Mandiri dan Pertamina. Dari Yayasan Yatim Mandiri dikucurkan beasiswa anak kurang mampu bagi 14 siswa. Sedangkan dari Pertamina kuotanya 60 siswa berprestasi. Ada juga beasiswa dari pemerintah dengan kuota tujuh siswa kurang mampu,” pungkasnya. (awi/nji)

Istirahat, Ramai-ramai Main Catur

Lazimnya, pada jam istirahat siswa akan bermain bola atau jajan. Tapi siswa SD Beringin 02 malah menggelar papan catur. Kata guru, banyak siswa “kecanduan” olahraga otak. Wah!

BERMAIN pada saat jam istirahat adalah aktivitas yang jamak dilakukan oleh siswa SD. Biasanya ketika bel jam istirahat mulai berbunyi, mereka langsung berhamburan meninggalkan ruang kelas dan melakukan aktivitas yang menyenangkan, yang bisa membuat otak menjadi rileks.

Umumnya, aktivitas yang lebih mereka sukai adalah model permainan yang tidak menuntut otak harus berpikir keras. Seperti bermain bola atau aktivitas kecil dan ringan lainnya. Maklum saja, selain karena masa-masanya getol bermain, alasan lainnya juga karena otak sudah penat dengan materi-materi pelajaran di
dalam kelas.

Namun, satu pemandangan berbeda terjadi di SDN Beringin 02. Di sekolah yang dikepalai Mulyono ini, sejumlah siswa mempunyai kebiasaan unik dalam mengisi jam istirahatnya. Mereka lebih memilih bermain catur ketimbang aktivitas yang dilakukan para siswa pada umumnya. Bahkan, sejumlah siswa tersebut terlihat serius saling beradu sterategi untuk bisa membuat lawan mainnya “skak mat” layaknya profesional.

Menurut Muhamad Ad Tasun Guru Olahraga SDN Beringin 02, bermain catur di saat jam istirahat ini merupakan kebiasaan yang sudah cukup lama dilakukan para siswa-siswinya. Kurang lebih sejak lima tahun lalu, setiap jam istirahat dimulai, para siswa langsung mengambil papan catur yang tersimpan di ruang kepala sekolah.

Mereka kemudian menggelar papan-papan catur itu dan memainkannya di teras ruangan hingga bel jam masuk berbunyi. “Mereka ini siswa yang suka dengan permainan catur. Awalnya mereka tidak bisa memainkannya. Namun karena minat dan setelah kami ajari cara dan teknik memainkannya, akhirnya mereka ketagihan. Jadi sudah menjadi semacam hobi,” jelas alumnus Unnes itu, kemarin (25/11).

Telanjur Hobi
Adalah Dimas salah satunya. Ketika ditanya alasan memilih bermain catur ketimbang kegiatan lain, siswa kelas VI itu mengatakan catur saat ini sudah menjadi hobi baginya. Bahkan karenanya, ia suka memainkan bidak-bidak dari kayu tersebut setiap ada kesempatan baik di rumah maupun di sekolah.

“Alasan milih main catur saat jam istirahat, ya karena suka. Lebih asyik. Selain itu, juga karena tidak membuat tubuh capai. Kalau main bola atau bermain di halaman dengan teman-teman bisa jadi capai, sehingga di kelas ngantuk,” ungkap Dimas kepada Harsem, di sela-sela aktivitasnya menjalankan bidak-bidak
caturnya.

Selain Dimas, masih ada belasan siswa SDN Beringin 02 penghobi catur lainnya. Bahkan, menurut Muhammad Ad Tasun, papan catur inventaris sekolah yang hanya berjumlah empat buah, terpaksa harus digunakan secara bergantian. Tak jarang mereka berebutan agar bisa kebagian.

Melihat minat dan hobi sejumlah anak didiknya, guru olahraga yang suka mendengarkan lagu Godbless itu mengaku merasa senang. Agar hobi itu terakomodasi dan berhasil maksimal, ia mengaku selalu memberi motivasi kepada siswa tersebut agar sering berlatih dan serius menggelutinya agar bisa menjadi bekal di masa mendatang. Selain itu, lelaki berusia 43 itu menambahkan, manfaat main catur juga sangat bagus buat anak-anak.

Yakni untuk meningkatkan “otot mental.” Kemudian untuk keuntungan akademik, permainan ini bisa menambah daya ingat, meningkatkan kemampuan spasial, serta keahlian berhitung.

Belum lagi peningkatan kemampuan pemecahan persoalan dan memperkokoh logika berpikir. Catur merupakan jalan menyenangkan untuk mengajar anak-anak bagaimana berpikir dan memecahkan persoalan-persoalan pelik,” tandasnya mengakhiri. Yap, semoga dari sekolah ini akan lahir master-master catur baru yang akan mengharumkan nama bangsa. (sohibun niam/nji)

Rintis Eskul Karawitan

UNTUK menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya Jawa, SMP Negeri 5 Semarang menyelenggarakan ekstrakurikuler karawitan. Kepala Sekolah Suharto mengatakan melalui eskul ini, siswa diajak mencintai budaya Jawa. “Kami telah membeli satu set peralatan gamelan untuk penunjang,” jelasnya saat ditemui Harsem di ruang kerjanya baru-baru ini.

Dijelaskan, kegiatan diadakan karena banyak pelajar yang mulai melupakan tradisi dari kampung sendiri. “Bahkan mereka terkesan enggan bersentuhan dengan kegiatan yang dianggap kuno itu. Itulah yang mendorong kami untuk menghidupkan kesenian tradisional di sekolah,” paparnya.

Karena baru permulaan maka semua siswa dianjurkan mengikutinya. “Mulai dari kelas VII sampai IX. Namun karena kelas IX sedang persiapan Ujian Nasional maka mereka tidak diwajibkan,” imbuhnya. Dia mengakui mengajak siswa kembali berdekatan atau berinteraksi dengan kebudayaan tradisional tidak mudah. “Kami harus rajin membujuk siswa agar mau mengikuti kegiatan ini. Lagi pula sayang, uang yang kami gunakan untuk membeli peralatan gamelan juga tidak sedikit,” lanjutnya.

Untuk kegiatan ini, pihak sekolah mendatangkan pengajar dari luar. “Karena guru di sini tak terlalu menguasai kesenian. Oleh karena itu kami memanggil pengajar dari luar,” terangnya.

Selain karawitan, kegiatan eskul lain yang terdapat di SMPN 5 adalah rebana, PMR, pramuka, serta kelompok mata pelajaran.

“Jumlah seluruh ekstrakurikuler sebanyak 21 kegiatan. Hal itu bertujuan agar pilihan siswa lebih variatif,” kata dia.

Selain itu, dirinya juga mengatakan eskul ini bersifat tak wajib. “Karena ini berhubungan dengan bakat dan minat. Satusatunya yang wajib diikuti adalah pramuka,” ujarnya.

Sarat Prestasi
Ada beberapa kegiatan ekstrakurikuler yang sarat prestasi. “Salah satunya PMR. Siswa kami sudah sering menyabet juara, bahkan sekolah kami menjadi pangkalan PMR tingkat Provinsi Jawa Tengah,” jelasnya. Untuk kegiatan paskibra, belum lama ini SMPN 5 Semarang juga menyabet gelar sebagai juara umum se-Kota Semarang,” ujarnya.

Menurutnya, kelompok mata pelajaran yang dibentuk sekolah bertujuan mencetak bibit siswa berprestasi yang selanjutnya dapat diikutkan ke berbagai macam perlombaan mata pelajaran atau siswa berprestasi. “Kami memiliki kelompok IPA, matematika, bahasa Inggris dan TIK (teknologi informasi dan komunikasi, red),” tambahnya.

Siswa yang mengikut penyaringan kelompok adakah siswa kelas VII dan VIII. “Kami melakukan pembibitan saat siswa duduk di kelas VII. Selanjutnya mereka mengikuti bimbingan dari sekolah. Lantas jika sudah siap mengikuti perlombaan, barulah kami mengikutsertakan dalam perlombaan,” paparnya.

Dikatakan, kelompok ini digembleng khusus untuk mencetak siswa yang nantinya menjadi andalan sekolah. “Saat ini konsentrasi kami terfokus pada lomba RSBI (Rintisan Sekolah Berbasis Internasional) di Kota Pati. Kami mewakili Karesidenan Semarang,” bebernya.(awi/nji)

Dinas Pendidikan

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. HARIAN SEMARANG - Education - All Rights Reserved
Template Created by Mas Fatoni Published by Tonitok
Proudly powered by Blogger